“Ini
nggak sengaja apa gimana, Mas?”
“Memang
udah instingnya.”
“Wah …
mungkin mereka bisa denger nyanyian laut, ya …”
Lima
taun yang lalu, Ikan Paus dan Dea berkesempatan ngeliat penyu di Sukamade,
Banyuwangi. Kami langsung jatuh sayang sama para tukik alias anak penyu. Ukuran
mereka keciiiil … banget, nggak sampai setelapak tangan. Gerakannya gemes-gemes
imut. Hebatnya, sejak orok mereka udah tau di mana samudera. Mereka ngedayungin
sirip mereka ke arah laut dengan pasti.
Ngelepas
tukik adalah pengalaman yang sentimentil. Begitu ngeliat laut, tukik-tukik itu
langsung bergerak penuh semangat nyambut ombak. Dea sempet agak khawatir. Soalnya
perbandingan ukuran laut dan tukik kan ekstrim banget.
Tapi
Dea sadar kalau laut rumah mereka. Tukik-tukik
ini pulang. Nggak ada kampung halaman
yang terlalu luas.
Di
kemudian hari, Dea baru sadar kalau kampung halaman penyu udah luar biasa
tercemar. Sampah—terutama sampah plastik—ancaman besar buat mereka. Banyak
tukik yang masuk ke cincin botol plastik, kemudian mati kejepit begitu tumbuh
semakin besar. Banyak juga penyu dewasa mati karena makan plastik yang dikira
ubur-ubur.
Ikan
Paus dan Dea sempet liat tukik yang dijual di tukang ikan. Mereka dikemas di
plastik-plastik kecil dan disebut kura-kura air tawar. Kami nyoba ngelaporin
ini ke pihak berwajib dan temen-temen konservasi. Dari situlah kami tau kalau
temen-temen konservasi udah lama bergerak nanganin ini.
Dea sempet
cerita ke Nadine Chandrawinata. Nadine adalah
inisiator “Sea Soldier” yang
punya perhatian khusus sama pelestarian laut. Dia ngebantu Dea nge-share isu itu di media sosial dan ngajak
temen-temen aware.
Dea
nyoba bikin tulisan, tapi sampai bertaun-taun, cuma sepotong catetan pendek ini
yang muncul di kepala Dea:
Berpuluh-puluh tukik merayap
menyambut ombak.
Mereka yang maha kecil, menyongsong
laut yang maha luas.
Untuk setiap tukik yang tergulung
ombak, saya berdoa:
“Semesta, saya percaya engkau menjaga
mereka dengan sistem keadilanmu sendiri …”
Udah.
Hati
Dea nggak lepas dari penyu meskipun nggak tau lagi musti ngapain. Dea bukan
orang yang pinter ngehimpun massa, bikin gerakan-gerakan, atau bisa ngerumusin
solusi praktis. Selama ini yang selalu bisa Dea lakuin cuma ngebagi cerita.
Kata
Mas Ranger di Sukamade, salah satu faktor yang bikin penyu terancam punah
adalah pencurian telur. Banyak orang serakah yang ngambilin telur penyu sampai
abis, bahkan tega ngebunuh induk penyu cuma untuk ngeraup telur di dalem
perutnya.
Di
Sukamade, selain ngelepas tukik, Ikan Paus dan Dea juga dapet kesempatan
ngintip induk penyu bertelur. Induk penyu agak introvert. Jadi, selama dia
bertelur, kami nontonnya musti tenang dan sembunyi-sembunyi.
Waktu
ngeliat ekspresi induk penyu yang tawakal, Dea tersentuh. Diem-diem induk penyu
seperti nitipin anak-anaknya ke siapapun yang punya kesadaran memelihara. Di situlah
hati Dea berjanji. Kalau ada kesempatan, Dea akan ngelakuin sesuatu buat
keluarga penyu.
Bertaun-taun
kemudian, Bandung Philharmonic ngangkat tema “Under Our Sea” untuk Children
Concert Series-nya. Dea, yang langganan nulis cerita untuk event ini, langsung keinget sama keluarga penyu.
Cerita
“Under Our Sea” Dea tulis sepenuh hati, dengan cinta dan harapan yang paling
murni. Tukik-tukik yang Dea lepas lima taun yang lalu, mungkin seumur sama
anak-anak yang nanti bakal nonton konser. Seumur juga sama anak-anak induk
penyu tawakal-introvert yang Dea liat di Sukamade.
Sekitar
dua puluh taun mendatang, Kikut-Kikut di cerita ini akan kembali ke darat
sebagai penyu hijau dewasa. Saat itu, dunia adalah suatu tempat dengan
kesadaran yang berbeda. Penyu-penyu ini bisa bertelur tanpa takut, tinggal di
tempat yang lebih baik, dan dipeluk oleh manusia-manusia yang penyayang.
Cinta
yang kita tanam hari ini akan tumbuh sebagai kebaikan dari generasi berikutnya.
Dea
percaya :)
Info lebih lengkap mengenai konser ini dapat dilihat di Bandung Philharmonic.
Komentar