Ulangtaun pernikahan kami udah lewat
dua bulan. Meskipun katanya 5 taun cukup spesial, kami nggak bikin perayaan
apa-apa.
Persis pas hari anniversary kami, Ikan Paus tugas main musik di kawinan temennya,
jadi kami nggak sempet bikin acara. Abis dari situ kami sempet makan berdua
tapi di foodcourt Istana Plaza. Kami
berdoa mensyukuri 5 taun yang udah dijalanin, tapi nggak foto-foto karena sudah
lapar dan lelah :D
Katanya taun ke-5 ini taun kayu.
Jadi, setelah semua kesibukan agak reda, kami ngerayain anniversary kami dengan marathon nontonin filmnya Ed Wood (biar
kayu). Ed Wood adalah sutradara Hollywood yang filmnya dianggep jelek-jelek, tapi buat kami
cerdas dan lucu dengan caranya.
Sejak sebulan yang lalu, Dea pengen bikin tulisan tentang Ed Wood. Niatnya, sih, diposting Kamis 18 Juli kemaren,
persis pas 5 taun + 2 bulan usia pernikahan. Tapi idup memang penuh plot twist. Tanggal 17-nya, rumah kami
kedatengan bintang tamu.
Hari itu Ikan Paus dan Dea pulang
lebih cepet daripada biasanya. Ikan Paus mau istirahat sebentar sebelum main
musik di wedding expo, sementara Dea
mau beli cilok di belakang rumah untuk dibawa ke rumah sepupu. Begitu mobil
masuk ke garasi, tampaklah pintu rumah yang udah reges-reges.
“Ada maling masuk!” seru Ikan Paus.
Dea shock.
Sementara Ikan Paus keluar dan ngecek
ke tetangga-tetangga, Dea duduk lemes di dalem mobil. Beberapa saat kemudian
polisi dateng meriksa-meriksa. Rumah kami acak-acakan dan semua pintu dilinggis
sampai ancur. Setelah polisi ngambil beberapa barang bukti dan pergi, Ikan Paus
dan Dea beres-beres.
Sambil nyapu-nyapu rontokan kayu sisa
kegiatan si maling, kami meriksa barang apa aja yang ilang.
Pertama, uang hasil ngajar les dan
main musik Ikan Paus. Tapi untungnya kami agak berantakan. Amplop kosong, bon,
struk, kertas-kertas nggak jelas, kartu-kartu ucapan, dan amplop yang ada
duitnya, campur aduk di satu tempat. Jadi, untuk nemu uang, si maling butuh effort dan waktu kayak nyari telor
Paskah.
Kedua, perhiasan. Cincin kawin Dea
ilang (setelah beberapa taun lalu cincin kawin Ikan Paus ilang duluan dan kami
akhirnya pakai cincin titanium). Begitu juga liontin dan sepasang jam tangan
hadiah perkawinan. Tapi ya udah. Emang perhiasan berharga yang Dea punya itu doang.
Sisanya kalung-kalung 15 rebuan dan jepit jemuran warna-warni.
Ketika ngebayangin ekspresi si maling
pas bongkar-bongkar barang kami, Ikan Paus dan Dea tiba-tiba ngakak-ngakak.
“Ya gimana, yang mau dimaling sobat
miss-queen,” kata Dea.
“Udah sobat miss-queen, ngebongkar
pintunya susah setengah mati,” tambah Ikan Paus.
“Iyalah. Sebagai sobat miss-queen
kita kan protektif sama yang kita punya.”
Ikan Paus dan Dea ngais-ngais amplop
yang berantakan dan masih nemuin sisa-sisa uang. Nggak banyak. Tapi cukup. Kami
mensyukuri yang masih ada dan berusaha ngerelain yang udah ilang. Kami percaya
rejeki ada siklusnya, yang diambil dan yang diberi sama semesta nggak pernah
timpang.
“Sebenernya kejadiannya bisa lebih
buruk daripada ini, lho. Gimana kalau pas aku lagi di rumah sendirian? Terus
pas banget hari ini kita pulang lebih cepet, jadi si maling nggak maksimal
bongkar-bongkarnya,” kata Dea.
“Aku masih liat malingnya kabur,”
tambah Ikan Paus.
“Pas buka gerbang belakang, aku masih
denger suara kresek dari kebun.”
“Kayaknya itu malingnya kesandung
bambu di pager depan. Soalnya bambunya remuk dan posisinya berubah.”
Ketika ngebayangin adegan pencurian
yang mirip film komedi, kami berdua ketawa-ketawa lagi.
Sebetulnya kami cukup sedih, tapi
nggak tau kenapa kami tetep bisa ketawa-ketawa. Ada satu hal yang kemudian Dea
sadarin dari 5 taun pernikahan kami. Dalam setengah dekade ini, kami belajar
ngetawain segala hal. Selain yang memang lucu dan nyenengin, kami belajar
ngetawain kegagalan, kesalahan, kemalangan, bahkan bentrokan yang kadang terjadi
karena kami dua manusia yang berbeda.
Dea sadar di taun ke-5 ini kami
semakin advance ketawa-ketawa. Kemalingan
ini buktinya. Dea sendiri kaget sama reaksi kami; betapa penyesalan dan
kesedihan bisa berbaur dengan syukur dan komedi yang bikin penerimaan terasa
adil dan lengkap.
“Kalau dipikir-pikir yang ilang semua
hadiah nikahan, ya. Cincin, jam, liontin,” kata Dea.
“Angpau hadiah anniversary kita juga. Soalnya itu langsung keliatan sama mereka.
Pasti diambil,” kata Ikan Paus.
“Ya udah. Tapi yang paling penting,
kita nggak keilangan pernikahannya.”
Setelah cetusan terakhir Dea yang
semi spontan itu, Dea ngerenung sendiri. Sementara Ikan Paus masih
mengais-ngais amplop, Dea berdoa mensyukuri banyak hal yang tau-tau keinget.
Ulangtaun pernikahan kami udah lewat dua bulan. Tapi mungkin baru hari itu kami
ngerayainnya dengan cara yang nggak mainstream.
“Eh, lihat, ada ini,” Ikan Paus
nunjukin secarik kertas.
Ternyata catetan yang dikasih tante-tantenya
Ikan Paus pas hari pernikahan kami. Pesennya simpel dan umum banget, tapi
kerasa tepat ketika ditemuin malem itu.
“May God bless your marriage and
always be happy”
-with love from, Tate Boan and Tante Kiok-
Malem itu kami tidur kedinginan
karena pintu kamar masih bolong. Tapi hati kami anget diselimuti syukur dan
kesadaran untuk berbahagia.
Komentar