sebuah interpratasi untuk karya Aksan Sjuman: Dance of The Water Lily
Picture: Pixabay |
Di permukaan danau yang tenang, sekuntum water lily berenang menepi. Ia
membelah air nyaris tanpa suara dan mengapung anggun seperti angsa.
“Halo,” sapa water lily itu.
“Halo,” saya membalas sapaannya.
“Kamu berjumpa dengan Shining Water
Lily,” ia memperkenalkan diri. Suaranya nyaman seperti air pancuran dan
intonasinya seperti penyiar radio nostalgia.
“Aku Dea,” saya juga memperkenalkan
diri.
“Sebentar lagi, aku akan merayakan
sesuatu dengan tarian. Selamat menyaksikan…”
Perlahan-lahan, Shining Water Lily
bergerak mundur dibuai gelombang. Tubuhnya yang mungil terombang-ambing tanpa
peralawanan; kiri-kanan-kiri-kanan-kiri-kanan; berulang-ulang. Riak kecil yang ditimbulkannya
seperti hipnotis. Antara sadar dan tidak, saya menggumamkan hitungan:
satu-dua-tiga, satu-dua-tiga, sambil berdansa Waltz di dalam kepala.
Repetisi yang tekun dan disiplin
membimbing saya seperti meditasi. Ketika saya tidak menjangkarkan diri, tarian
Shining Water Lily membawa saya mengambang-ngambang menuju kesadaran lain. Saya
terhisap masuk ke dalam sepaket memori. Di sana saya mendapati gambar-gambar
buram dengan satu tema, warna-warna pupus yang akrab, kilasan-kilasan cahaya, dan
suara-suara tak jelas yang berlompatan. Desir. Debur. Hela. Lengking. Saya
menginderanya. Hanya mengindera tanpa berusaha menerjemahkannya. Hingga
tiba-tiba segala sesuatu menjadi gelap.
*dep*
“Shining Water Lily…?” panggil saya.
Tidak ada sahutan.
“Shining Water Lily? Kamu di mana?”
Angin berdesau menerpa telinga saya.
Bunyinya seperti bisikan yang halus sekali. Saya kembali mendengar detak jantung
saya sendiri, merasakan dingin yang mulai menggigit, dan menghirup aroma rumput-rumput basah.
Perlahan saya membuka mata dan mendapati danau di hadapan saya kosong. Shining
Water Lily sudah tidak lagi berada di sana. Ia menuju kesadaran yang
lain dan tidak pernah kembali ke tubuh fananya. Memori menjadi biara yang memeliharanya
dalam keabadian.
picture: Pixabay |
Saya jadi teringat pada “Egyptian
Book of The Dead”. Kitab ini berisi sejumlah mantra yang menuntun mereka yang sudah berpulang agar menemukan jalan menuju
afterlife. Salah satu kutipan yang mengingatkan saya kepada Shining Water Lily adalah:
I
am the holy lotus that cometh forth from the light which belonged to the
nostrils of Ra, and which belonged to the head of Hathor. I have made my way,
and I seek after him, that is to say, Horus. I am the pure lotus that cometh
forth from the field [of Ra].
Pada kisah penciptaan versi Mesir
kuno, Nefertem merupakan water lily atau
lotus pertama yang terbit di air. Ia
yang tercipta dari cahaya—dari lubang hidung Ra Sang Dewa Matahari—melambangkan
fajar, segala yang dihadirkan oleh hari baru.
Lotus tidak merekah sepanjang waktu.
Begitu matahari tenggelam, lotus mengembalikan
keilahiannya kepada Hathor, Ibunda Ra dan Ibunda Horus Sang Dewa Langit. Dewi Hathor
dipercaya menggenggam segala sesuatu yang ada di angkasa.
“Dance of The Water Lily” adalah
komposisi Aksan Sjuman yang ditulis untuk mendiang puteranya. “Kalau
diterjemahkan, nama anak saya artinya shining
water lily,” ungkap Aksan.
Enam jam setelah lahir sebagai
cahaya, Shining Water Lily kembali kepada langit. Tetapi sebagian dirinya
tinggal di dalam memori, menerjemahkan esensinya sebagai rindu, dan mewujud
dalam bentuk apa saja termasuk karya.
Komposisi dengan ketukan tiga
perempat yang ditulis Aksan mengambang dari awal sampai akhir. Strings section memainkan nada-nada repetitif, membentuk pola yang
memagari emosi. Sizzle pada simbal
menghadirkan perkusi dengan cara yang paling halus; seperti sesuatu yang berdesir
di darah kita, tapi tak harus diapaparkan dalam ekspresi yang gamblang.
Menjelang akhir lagu, berbagai instrumen
woodwind mulai bersahut-sahutan, memainkan
nada-nada ganjil yang gelisah, namun dijaga ketat agar tak sampai keluar pagar. Ketika
kegelisahan itu mulai semakin riuh, “Dance of The Water Lily” segera dikunci
dengan ending.
Katanya, Shining Water Lily merayakan
sesuatu dengan tarian. Tetapi, tanpa gegap gempita dan kemeriahan, apakah ini
bisa disebut perayaan?
“Bisa, Dea, sebab arti ‘merayakan’
adalah ‘memuliakan peristiwa penting’,” bisik sebuah suara di dalam kepala.
Malam itu, sinar bulan menyentuh
wajah saya dengan damai. Dewi yang memeluk benda-benda langit tentu tengah
memeluk Shining Water Lily juga.
***
“The Dance of Water Lily” adalah karya
Sri Aksan Sjuman yang diperdanakan dalam konser “Emperor” Bandung Philharmonic,
2 Februari 2019. Pada tahun 90an, Sri Aksan Sjuman lebih dikenal sebagai Wong
Aksan, drummer Dewa 19. Kini ia aktif mengelola Sjuman Instrument dan Sjuman
School of Music, menjabat sebagai anggota Komite Musik di Dewan Kesenian
Jakarta, dan membuat berbagai komposisi musik.
Kunjungi http://rumahkaryasjuman.com/ untuk
informasi lebih lengkap dan sambangi @aksansjuman pada Instagram untuk menonton
cuplikan “The Dance of Water Lily”.
Komentar