Sekitar empat puluh tahunan yang
lalu, di tahun 1970an, Abah, Emak, Euis, Cemara, dan Agil diciptakan oleh
sastrawan Arswendo Atmowiloto. Mereka hadir dalam cerita bersambung “Keluarga
Cemara” yang dimuat di Majalah Hai.
Tersebutlah sebuah keluarga yang
awalnya hidup berkecukupan. Namun, suatu musibah membuat Abah pailit. Untuk
menyambung hidup, Abah bekerja sebagai penarik becak. Sementara itu Emak
membuat opak yang dijajakan anak-anaknya. Kisah berputar di sekitar keseharian keluarga itu
dengan Cemara si anak tengah sebagai poros narasi.
gambar dari idntimes |
Empat puluh tahunan kemudian, pada
tahun 2019, “Keluarga Cemara” hadir kembali dalam bentuk film layar lebar. YandyLaurens dipercaya sebagai sutradara dan Gina S Noer memproduseri sekaligus
menulis naskahnya.
Agar kisah ini menjadi lebih kuat dan
relevan dengan zaman, mereka membuat beberapa penyesuaian.
Pertama, si bungsu Agil tidak muncul
sejak awal cerita. Tetapi di film ini kehadirannya menjadi pelangi yang
menjembatani risau dan syukur.
Ketika kondisi keluarga sedang sulit-sulitnya,
tahu-tahu Emak mengandung. Di tengah kekhawatiran yang merundung keluarga,
terutama Emak, tahu-tahu Cemara alias Ara datang. “Berarti doa Ara terkabul,”
sambut tokoh yang diperankan oleh Widuri ini dengan kegembiraan yang lugu. Seketika
suasana mencair dan berubah haru. Terutama ketika Abah menegaskan, “Tuh, Mak,
Ara yang minta…”
Kedua, Euis yang diperankan oleh ZaraJkt48 (yang ternyata justru lebih glowing
dengan make-up natural) adalah
remaja kekinian. Ketika masih tinggal di Jakarta, ia tak lepas dari gawai dan
punya geng dance yang kompak
berprestasi.
glowing kan? Foto dari sini |
Ketiga, profesi Abah bukan lagi
penarik becak melainkan pengemudi ojek online. Ini membuat cerita menjadi lebih
kuat, masuk akal, dan relatable dengan
banyak orang. Dengan cara ini brand juga
dapat disematkan dengan cerdik dan halus. Setelah menonton webseries “Sore” dan
“Mengakhiri Cinta dalam 3 Episode”, saya percaya Yandy Laurens memang extraordinary dalam hal ini.
Mutiara tiada tara
adalah keluarga
Kalung mutiara terdiri butir-butir
kecil yang berkilau. Demikian pula film “Keluarga Cemara”. Paket kehangatan
yang memeluk kita disusun dari hal-hal kecil yang dironce dengan jeli.
Di awal film, kita diperkenalkan
kepada “salam” keluarga yang norak-norak gemas (nggak saya ceritain salamnya kayak apa, ya, silakan ditonton sendiri :p). Diam-diam
kita digiring kepada tradisi kecil yang menandai ikatan mereka. Kita dibuat
terbiasa dengan salam ini sampai konflik keluarga mulai runcing. Ketika Euis
menolak mengucapkan salam itu kepada Abah, kita langsung merasakan sesuatu yang
tiba-tiba getas.
Ara kerap melakukan kegiatan receh
yang aneh-aneh. Tapi receh yang hadir terus menerus ini diam-diam menjadi
tabungan yang membuat kita jatuh sayang kepadanya.
Salah satu kerecehannya
yang paling ajaib adalah bermain-main dengan suara sendiri di depan kipas angin
yang berputar. Pada salah satu adegan, ini dilakukannya bersama Abah yang
akhirnya terpaksa dikerok Emak karena masuk angin.
medcom.id |
Di kampung tempat keluarga ini
tinggal, sinyal hanya bisa didapat jika mereka naik ke atas pohon. Maka,
ponsel digantung dengan kresek di ranting pohon. Kehebohan terjadi jika dari depan rumah tiba-tiba terdengar suara
telepon.
Salah satu adegan yang cukup mengena adalah
ketika Abah menerima telepon dari
pengacara. Sebelumnya, pengacara ini berjanji membantu Abah membereskan kasus penipuan yang menimpanya. Abah duduk menelepon, sementara seluruh
keluarga menanti di bawah pohon dengan wajah penuh harap. Lalu apa yang terjadi?
Ditonton saja ;)
“Keluarga Cemara” membangun empati
dengan cara-cara yang sublim. Kondisi seorang tokoh dapat
diceritakan melalui tokoh lain. Misalnya, kekecewaan yang disembunyikan Abah
terbaca melalui ekspresi Emak. Ini sekaligus menggambarkan ikatan emosional di antara keduanya.
Contoh lainnya, konflik
yang dihadapi Euis. Pada suatu hari Euis nekat kabur dari rumah untuk menjumpai
geng dance-nya di kota. Ketika sampai
di kota, ia kecewa begitu tahu posisinya sudah digantikan.
Tidak ada tokoh yang harus kita benci
untuk membangkitkan sayang dan simpati kita kepada Euis. Kita tidak harus
menghadapi tokoh antagonis yang buas menjelang psycho seperti yang kerap kita temui di sinetron. Teman-teman Euis,
termasuk Diva penggantinya, berperilaku baik. Patah
hati Euis digambarkan dengan cara yang natural dan tidak verbal.
Sejak pertama kali bertemu kembali
dengan teman-temannya, Euis mendapati geng dance-nya
sudah punya seragam baru. Seragam Euis yang out
of date secara tidak langsung menempatkannya sebagai outsider.
Lama absen juga membuat Euis
tertinggal banyak. Ia tak lagi dapat ikut mendiskusikan koreo.
Ketika teman-temannya tenggelam dalam keseruan dan asyik berlatih, tanpa mereka sadari Euis sudah
tersisih.
Menyaksikan situasi itu justru
membuat kita dapat berempati secara proporsional.
Cast dan kerabat kerja. Foto dari idntimes. |
Sejak awal, hanya Ara yang menyambut
kebangkrutan keluarga dengan keriangan yang benderang.
Pindah ke rumah Aki di
kampung membuat Ara bersemangat. Kehidupan baru di kampung juga tak membuatnya
susah. “Abah sering ada di rumah, Emak bikin opak setiap hari, Ara bisa sekamar
sama Teh Euis. Kalau di Jakarta mana bisa?” ungkap Ara.
Bisa jadi sudut pandang itu
dipersembahkan oleh kepolosan kanak-kanaknya. Tetapi bisa jadi juga memang cuma
Ara yang betul-betul memahami makna “harta yang paling berharga adalah
keluarga”. Maka, ia tak pernah merasa kehilangan apa-apa.
Berbagai musibah dan konflik
menghantam keluarga ini. Tetapi di “Keluarga Cemara”, kehidupan terasa begitu jinak dan lovable. Hampir semua orang berhati baik dan siap menolong. Permasalahan
yang di dunia nyata terbilang pelik dan potensial depresif pun teratasi dengan
relatif sederhana. Matahari selalu hangat di “Keluarga Cemara” seperti pada
lirik lagunya:
Selamat pagi Emak, selamat pagi Abah
Mentari hari ini berseri indah
Mentari hari ini berseri indah
Setelah menonton film “Keluarga Cemara”, saya baru
sadar. Mungkin nama “Cemara” memang kunci kacamata cerita.
Nonton "Keluarga Cemara" bareng "Keluarga Tercemar" Cswritersclub |
Komentar