-Universitas Parahyangan, 7 November
2018-
Mata Kuliah Umum
Estetika
Di depan sekelompok mahasiswa
Universitas Parahyangan, pada mata kuliah umum estetika asuhan Prof. Dr. Ir
Bambang Sugiharto, Galuh Pangestri Larasati menampilkan “Maria”. “Ini harus diperhatikan
pesannya,” kata Prof Bambang. Menurut Prof Bambang, estetika tak melulu
berbicara mengenai hal-hal menghibur yang memanjakan mata. Seni, tari
kontomporer, perlu dilihat dengan kacamata yang lain.
Pada bulan ke-8 kehamilannya, Galuh
kembali menampilkan “Maria”. Karya ini diperdanakan pada Pameran Tafsir Rupadan Gerak Bukan Perawan Maria dua bulan lalu, dibuat untuk merespons cerpen “Bukan
Perawan Maria” karya Feby Indirani.
Maria. Demikian nama tokoh dalam
cerpen tersebut. Ia adalah perempuan metropolitan yang bebas dan mandiri. Maria
memilih laki-laki yang ia mau, menentukan jenis hubungan yang ia suka, dan menyampaikan
pikiran-pikirannya dengan berani. Maria digambarkan sebagai sosok yang punya
otoritas atas tubuh dan identitasnya.
Pada suatu hari Maria tiba-tiba hamil
tanpa ditiduri laki-laki manapun. Agar anaknya kelak mendapatkan legitimasi, ia
didesak mencari laki-laki yang mau menikahinya. Tetapi Maria memilih memiliki
dan melahirkan bayinya sendiri.
Dua bulan lalu, ketika memutuskan merespons
cerpen ini untuk Pameran Tafsir Rupa dan Gerak Bukan Perawan Maria, Galuh menunjukkan beberapa video koreografi
kepada saya. “Nanti kira-kira gerakannya bakal begini. Repetitif.”
Selain repetitif, saya menemukan
benang merah lain di antara semua video yang ditunjukkannya: seluruh gerakannya
tidak rumit, namun lugas menyampaikan sikap dan pernyataan.
Saat membahas role model perempuan yang dicitrakan lewat Bunda Maria atau Siti
Maryam, barulah saya memahami makna koreografi Galuh. Ia tegas menolak
didefinisikan dalam bingkai tersebut. Galuh—yang juga sedang mengandung—mempertanyakan
sejauh mana perempuan punya hak untuk memilih dan bersuara. Milik siapa tubuh
perempuan dan milik siapa bayi yang ada di kandungannya? Menurut Galuh, Tuhan
yang memegang otoritas identik dengan sosok laki-laki
“Maria lahir dari teks,” ujar Galuh.
Berangkat dari sana, ia mengumpulkan teks seputar Bunda Maria dan Siti Maryam.
Teks-teks tersebut disalin ulang dengan tulisan tangan, kemudian diproyeksikan
ke tubuh Galuh. Diiringi “Typography” karya Bottlesmoker, Galuh meliuk di
antara teks sambil memverbalkan pikiran-pikirannya sendiri. Teks yang sunyi
berdampingan dengan suara Galuh yang lugas dan provokatif.
Bunda Maria kerap disebut-sebut sebagai
Eva yang baru. Melalui Eva, perempuan didefinisikan sebagai penggoda yang
membuat laki-laki jatuh ke dalam dosa. Sementara melalui Maria, perempuan justru
digambarkan sebagai sosok yang suci dan submisif. Jika Eva berhasil digoda setan
yang hadir dalam bentuk ular, Bunda Maria justru digambarkan menginjak kepala
ular.
Melalui “Maria”, Galuh mempertanyakan
kembali bingkai-bingkai yang dibuat untuk menentukan seperti apa perempuan itu.
Mengapa ketika itu dosa dibebankan kepada perempuan? Apakah sudut pandang
perempuan dipertimbangkan dalam cerita itu? Betulkah memuliakan perempuan
berarti memberi mereka tempat yang lebih tinggi? Atau jangan-jangan justru melumpuhkan
dan mempersempit pilihan-pilihannya?
Segala pertanyaan ini hadir dalam
bentuk simbol-simbol pada gerakan-gerakan Galuh. Sabda yang tidak bisa
dibantah, kandungan yang harus dibawa, bagaimana perempuan harus menjadi “indah”,
dan atas semua itu, teks (suci) tak pernah lepas dari tubuhnya.
Di akhir performance-nya, Galuh
mundur perlahan-lahan dari dari arena. Ia membiarkan teks itu terpampang di
dinding sebagaimana adanya, tetapi tidak lagi membiarkan teks itu
mendefinisikan dirinya.
Salah seorang mahasiswa mempertanyakan
impact karya ini terhadap Galuh. Jawabannya
bisa beragam. Tetapi, mungkin impact dapat
dilihat secara lebih utuh setelah menempuh perjalanan yang lebih panjang.
Setelah mundur dari arena dan lepas
dari teks yang diproyeksikan ke tubuhnya, Maria kembali putih bersih tanpa bisa
dihakimi. Ia baru saja lahir lagi.
ka-ki: Pak Bambang, Galuh, Eka sang project manager, Sundea |
Komentar