Melepas Petang Bersama Maranara

-Masagi Koffee, 7 Oktober 2018-

Maranara edisi Sang Pemeluk

Diiringi “Lovely Day” dari Bill Withers, sejumlah manusia berbagi peluk dan tawa di pekarangan Masagi Koffee yang lapang. Dari jarak yang tidak terlalu jauh dari situ, saya berdiri sebagai pengamat. Saya ikut menikmati kegembiraan sambil mencoba memahami mengapa saya bisa ada di sana hari itu.

foto: Doly Harahap

Tepat seminggu sebelum acara, saya dihubungi oleh gadis Libra bernama Ayesh.

Halo Teh Dea! Jadi gini, temen aku mau buat acara penutupan karyanya yang judulnya Maranara, namanya @inilahniko. Akan mengundang Bubbukeni sebagai pengisi acara. Bubbukeni idein untuk acaranya akan ada booth-booth reading gitu. Aku minta Teh Novi untuk tarot reading, satunya lagi mungkin Teh Dea untuk zodiac reading.
 
Ketika membaca pesan Ayesh, saya kurang paham. Acara seperti apa yang sebetulnya sedang dipersiapkan? Saya mampir ke akun instagram @inilahniko dan menemukan tulisan-tulisan pendek bertema cinta yang dihimpun dengan tagar #Maranara.

Saya mengenal Mbak Keni sebagai penari dan mengenal Kak Novi sebagai sesama penulis yang kedukun-dukunan. Lalu konsep seperti apa yang menghubungkan tulisan-tulisan melankolis itu dengan kami? Meskipun agak bingung, didorong rasa ingin tahu, saya yang Gemini hayuk-an ini bersedia ikut serta.

Beberapa hari kemudian, saya dan Kak Novi bertemu dengan Ayesh dan Erlan, pasangan yang juga panitia acara. Di sana baru saya tahu apa persisnya Maranara ini.

Maranara adalah proyek kolaboratif Mas Niko dengan bermacam-macam orang. “Aku juga awalnya ketemu di Yumaju, tau-tau diminta ngegambar,” cerita Erlan.

Ada lima jilid seri Maranara. Seri pertama, “Untuk yang Berani Patah Hati”. Isinya tentang mengambil risiko dalam cinta. Mas Niko meminta 25 orang membuat ilustrasi untuk tulisannya dan mengajak Anggia Bonyta menjadi penyunting. Gambar dan teks itu kemudian disandingkan dalam seri kartu pos yang dibagikan secara gratis.


sumber: akun IG @inilahniko


Seri  kedua, “Marah Hati”. Pada edisi ini Mas Niko bercerita tentang ambisi yang mendorong cinta bergerak lebih jauh. Mas Niko bekerja sama dengan fotografer @adityasumitra, make-up artist @rissamariana, dan art director Iqbal Maulana Kamil. Mereka membuat 25 foto artistik dengan Mas Niko sebagai model di sebagian besar foto. 

sumber: akun IG @inilahniko


Seri ketiga adalah “Pecinta Gila”. Di catatan-catatan flirty ini Mas Niko menggandeng graphic designer Rully Irawan

 
sumber: akun IG @inilahniko

Selanjutnya, seri keempat adalah “Titik Diam”. Bagian ini semacam me-review seri pertama hingga ketiga. Tulisan-tulisannya direspons dengan zine yang didesain oleh Bayu Wiranagara

sumber: akun IG @inilahniko


“Sang Pemeluk” menjadi edisi penutup seri Maranara. Semua kolaborator dan sahabat yang terlibat dalam proyek dikumpulkan dalam suatu perayaan kecil. Lalu apa arti Maranara itu sendiri? Tidak ada jawaban pasti. Konon Mara dan Nara mewakili dua sosok yang berinteraksi pada teks-teks Mas Niko.

“Terus kenapa aku dan Kak Nov dipanggil untuk baca-baca?” tanya saya.
“Karena katanya, orang dibaca untuk dapet afirmasi,” jawab Ayesh.

Setelah pulang bertemu Ayesh dan Erlan, konsep Maranara “Sang Pemeluk” mulai terlihat tapi masih agak remang-remang. Kendati begitu, rasa penasaran mendorong saya tetap datang.

Foto: Doly Harahap

Di Minggu sore yang cerah, datanglah saya ke Masagi Koffee. Untuk pertama kalinya saya bertemu dengan Mas Niko yang ramah tamah mingle menyambut tetamu.

Acara dibuka dengan pembacaan cerita dari Mbak Keni yang dilanjut dengan “tempel-tempel stiker”. Setiap orang mendapat stiker aneka warna serta daftar sifat-sifat yang diwakili stiker-stiker itu. Kegembiraan terjadi. Setiap orang diajak mengingat kebaikan satu sama lain. Diiringi lagu “Lovely Day” dari Bill Withers, canda tawa dan peluk bertebaran di pekarangan Masagi.

Mas Niko ditempeli stiker. Foto: Doly Harahap
Kak Novi dan saya hampir tidak kenal siapa-siapa. Maka kami berdiri di luar lingkaran sebagai pengamat. Setelah adegan tempel-tempel stiker, barulah Bubbukeni mengumumkan siapa Kak Novi dan saya.  Kami adalah “dukun-dukun” yang siap membaca siapapun yang hadir di sana sore itu. JRENG JENG…

Sesi perdukunan kami masuk dalam acara bebas. Sementara orang-orang bergantian datang untuk dibaca, yang lainnya mengobrol santai sambil minum kopi dan menyantap pastry. Ketika melirik ke booth sebelah, Mas Niko sendiri tampak terlibat pembicaraan dalam dan serius dengan Kak Novi yang membuka kartu-kartunya. 

foto: Doly Harahap
Tetamu mulai pamit ketika hari semakin petang. Sebelum mereka pulang, Mas Niko meminta waktu sebentar untuk menyampaikan sesuatu kepada tetamu. Ia mengucapkan terima kasih satu persatu kepada mereka yang mengiringi perjalanan Maranara hingga hari itu. “Pada akhirnya, Maranara adalah kalian semua,” tutup Mas Niko. Kembali hadirin bertukar peluk. Saya sendiri tetap duduk menjadi pengamat dari jarak yang tidak terlalu jauh.

Konon Maranara berangkat dari kisah Mas Niko sendiri, terinspirasi dari seseorang yang disebut-sebut sebagai “Muse”.

Tapi mungkin juga Maranara hanya fiksi belaka. Ia bermain dengan tanda-tanda yang dapat diartikan sebagai apa saja.

Lalu mengapa judulnya harus Maranara? Bukankah “mara” berarti “bencana” dan “nara” artinya “manusia”? 

Ketika langit sudah ungu tua, saya justru sadar bahwa semua itu tak lagi penting. Apapun isi dan tujuannya, Maranara adalah “sang pemeluk” yang merengkuh sejumlah manusia, termasuk saya, yang kemudian menyadari mengapa saya berada di sana hari itu.

Akhirnya cahaya matahari betul-betul sirna.  Mata saya tak dapat melihat apa-apa lagi, namun, ada yang menjadi sedikit lebih terang.

Saya bersiap-siap minta diri sambil mengemas peralatan praktik perdukunan saya. Di dalam hati, saya bertanya sendiri.

Melalui acara hari itu, ke berapa cerita manusia saya sudah dituntun?

Foto: Doly Harahap

Komentar