pixabay |
Di idup yang meriah ini, kita
dikelilingin macem-macem jenis temen. Beberapa waktu yang lalu Dea dan temen
Dea tiba-tiba ngebahas toxic friends. Ada macem-macem jenis toxic friends.
Salah satu di antaranya adalah sekelompok temen akrab yang ternyata saling
ngomongin di belakang.
“Gaya temenan di Bandung emang begitu, ya?” tanya temen Dea.
Dea nyoba nginget-nginget sejarah pertemanan Dea selama 20 taun tinggal di Bandung. Bandung dan Jakarta emang punya kultur pergaulan yang berbeda, tapi bukan masalah toxic dan nggak toxic.
Waktu pindah ke Bandung, Dea sempet awkward juga. Di sekolah semua orang punya peer yang cukup eksklusif. Masuk ke salah satunya nggak gampang. Soalnya biasanya mereka solid banget dan punya karakter yang spesifik.
Sementara di Jakarta setiap orang
cenderung sendiri-sendiri dan relatif homogen. Jadi ketika masuk ke lingkungan
baru, jarang ada yang ngerasa terlalu asing. Lebih nggak susah juga
nge-blendnya.
Tapi pada akhirnya Dea bisa ngerti dan menghargai kedua gaya ini. Peer kecil-kecil di Bandung bikin komunitas bisa idup dan orang-orang berani eksperimen. Prosesnya asik. Di Bandung kita bisa bikin kegiatan seaneh apapun dengan dana sekecil apapun. Tapi dampaknya nggak selalu besar dan umurnya belum tentu panjang.
Sementara di Jakarta mungkin orang harus agak homogen karena apa yang mereka usung lebih besar-besar. Otomatis mereka nggak terlalu eksperimental, sangat mentingin goal, lebih ambisius, harus kompetitif, tapi apa yang mereka kerjain cenderung lebih panjang umur dan serius.
Orang-orang Jakarta juga cenderung lebih keras daripada orang Bandung karena pada akhirnya mereka sendirian. Penyet kalau nggak tangguh. Hubungan mereka relatif dingin tapi profesional.
Sementara di Bandung, orang-orangnya safety in numbers dan selalu anget-angetan bersama. Sepanjang pengalaman Dea, lebih solider akhirnya meskipun ukuran profesional nggak profesionalnya harus dirasa-rasa sendiri.
Nah.
Kalau di Bandung yang peer-nya kecil orang temenannya masih toxic, apa kabar?
Laksana masuk ke ruang sempit bersama-sama, ngunci pintu, terus saling
membaygon satu sama lain. Kemudian die.
Setelah Dea renung-renungin, toxic friends bukan masalah Bandung atau Jakarta. Di mana-mana pertemanan toxic ada-ada aja. Dea pernah nemu, kok, pertemanan toxic di Jakarta. Di Bandung juga.
Tapi yang Dea kemudian sadarin lewat obrolan sama temen Dea, selama ini Dea nggak pernah kelamaan berkubang di pertemanan toxic. Bukan sengaja juga, emang ada energi yang tolak-tolakan dan bikin nggak bisa ikrib aja.
Kalau rasanya udah nggak
enak, biasanya Dea ngikutin naluri. Dea nggak maksain terlalu mesra bergaul di antara
temen yang naga-naganya toxic.
Di kemudian hari pergaulan dengan orang-orang toxic ini juga bisa baik-baik aja. Kalau kita nggak keseringan main sama mereka, kadang-kadang kita bisa tetep punya hubungan yang tulus sama mereka. Sebab orang-orang yang 90% toxic pun masih punya 10% bagian yang nggak toxic. Ini kenyataan yang lumayan menggembirakan.
Baiklah. Kita kembali ke obrolan Dea dan temen Dea.
“Temen-temen kerja lu, gue, temen-temen main kita, toxic nggak?” tanya Dea.
“Divisi gue enggak, sih. Temen-temen
kita, meskipun nggak semua sifatnya cocok, ya nggak gitu juga.”
“Iya kan? Ini mah lu lagi kecemplung aja di yang toxic.”
“Iya kan? Ini mah lu lagi kecemplung aja di yang toxic.”
Abis itu kami ngebahas salah satu temen kami, Si Kakak. Si Kakak ini temennya banyak. Hampir semua orang di Bandung temen dia kayaknya.
Kalau pergaulan Bandung memang toxic, artinya lingkungan dia harusnya sebagian besar toxic kan. Tapi pada kenyataannya dia selalu dikelilingin temen-temen yang sayang sama dia, orang-orang yang support kerjaannya, dan energi-energi baik yang menular.
Dia tulus ke siapa aja dan sepenuh hati ngelakuin kebaikan apapun. Dea pernah bilang ke dia, “Kak, lu tau nggak kenapa yang lu kerjain berhasil aja dan lu sering hoki? Karena elu hatinya baik.” Dea serius sama kata-kata Dea. Bukan ngelontarin pujian basa-basi.
Pertemanan yang nggak toxic ngasih antibodi buat kita. Pada suatu saat nanti antibodi itu bikin kita imun dan nggak perlu takut lagi sama toxic friends. Soalnya kita punya daya tahan yang kuat. Nggak mampu toxicnya mengontaminasi kita.
Dea jadi inget kalimat agak klise yang nggak apa-apalah disebut lagi sebagai pengingat:
gambar diambil dari sini |
Menjadi positif bukan berarti pura-pura buta sama hal-hal negatif di sekitar kita, tapi cukup sehat untuk meng-counternya.
Kita nggak bisa ngontrol hati orang-orang di sekitar kita. Tapi semoga di apapun yang kita lakuin, kitanya sendiri didasari ketulusan yang lapang.
Gimana?
pixabay |
Komentar