“When a man's stories are remembered,
then he is immortal.”
-Big Fish-
13 Juli 1980-21 Juni 2018 |
Di tengah-tengah pertemuan
cswritersclub, Ayu Oktariani mendapat panggilan telpon yang membuat shock.
Ginan Koesmayadi, salah satu pendiri Rumah Cemara, meninggal. Dengan panik dan
cemas Ayu yang adalah karib Ginan berusaha meng-cross check kebenaran berita itu. Ketika dipastikan benar, tangis
Ayu pecah. Akhirnya, diantar kawan kami Abi dan Syam, Ayu dan saya berangkat ke
Rumah Sakit Advent.
Saat melihat jenazah Ginan yang pucat
di Instalasi Gawat Darurat (IGD), tangis Ayu pecah lagi. “Ternyata, bener, Dea,
bener itu Ginan, ya Allah…”
Kepergian Ginan memang sangat mendadak. Sepanjang hari pada tanggal 21 Juni, ia masih beraktivitas seperti biasa. Menjelang malam setelah menonton sepak bola satu babak, kata teman-temannya Ginan merasa lelah. Ia pamit pulang kemudian pingsan di kamar mandi rumahnya. Ginan dilarikan ke IGD Rumah Sakit Advent, tetapi nyawanya tidak tertolong. Ia meninggal karena serangan jantung.
Saya memeluk Ayu dan mengusap-usap
kepalanya. Tetapi entah mengapa saat itu perasaan saya mendadak kebas. Enam
tahun yang lalu saya berkesempatan mendampingi Ginan menuliskan memoarnya. Selama
proses penulisan yang dua tahun lamanya, saya bulak-balik mendengar kabar
kematian yang mengguncangkan Ginan.
Kematian orang terkasih adalah isu
yang tak pernah mudah untuknya. Saya jadi mengerti Ginan sangat takut ditinggal
pergi. Maka, selama menulis memoar Ginan, kisah kematian selalu saya gali dengan
perlahan dan hati-hati. Saya belajar meng-cover
emosi Ginan dan menjadi teman yang tenang tanpa kehilangan empati.
Namun, saat menghadapi kematian Ginan
sendiri, saya merasa awkward. Nama
dan peristiwa orang-orang terkasih yang
meninggalkan Ginan satu persatu hadir kembali dalam ingatan saya. Kendati
begitu, kehadiran mereka semua justru membuat tools emosi saya jadi error.
Saya bingung harus merespon kepergian Ginan dengan perasaan seperti apa.
***
Keesokan paginya, saya dan Ikan Paus datang
ke pemakaman Ginan. Suasana di TPU Cibarunai padat. Saya tidak heran. Sejak
dulu pembawaan Ginan yang tulus apa adanya, rendah hati, dan menaruh respect kepada siapa saja membuatnya punya
banyak teman dan mudah disayang. Entah bagaimana caranya ia juga mampu memberi
perhatian satu persatu secara penuh dan personal kepada orang-orang di
sekitarnya.
Saya mengamati wajah-wajah yang
datang. Di antaranya, saya menemukan orang-orang yang sempat diceritakan Ginan
tetapi belum pernah saya temui secara langsung. Tahu-tahu hati saya merasa hangat.
Saya jadi ingat tidak satu kali pun Ginan bercerita
yang jelek-jelek mengenai orang lain yang singgah dalam hidupnya. Setiap kritik selalu
disampaikannya secara adil, satu paket dengan kebesaran hati untuk memahami setiap
orang.
Cara pandang Ginan membuat saya
mengidentifikasi setiap wajah yang saya kenali sebagai kebaikan. Mungkin pada
dasarnya itu semua adalah cermin dari kebaikan hati Ginan sendiri. Sekeras
apapun hidup menempanya, Ginan tak pernah menjadi pahit dan pembenci.
Saya jadi teringat pada adegan
terakhir di film “Big Fish” karya Tim Burton. Seorang tokoh bernama Will
Bloom hadir di pemakaman ayahnya, Edward Bloom, dan bertemu dengan orang-orang
yang sebelumnya hanya ia dengar di cerita-cerita ayahnya. Seluruh cerita sang ayah tiba-tiba menjadi nyata dan lengkap. Di titik itulah Will Bloom sampai
kepada pemahaman yang utuh terhadap ayahnya.
The biggest fish in the
river gets that way by never being caught
Saat saya menyampaikan kabar
kepergian Ginan kepada papa saya, papa berkata, “Akhir perjalanan Ginan, ya,
Dea, dia sudah berbuat banyak.”
Namun saat menuliskan catatan ini,
saya tidak yakin ini sebuah akhir. Mulai hari ini, esok, lusa, dan hari-hari seterusnya, ia
akan menempuh perjalanan baru sebagai legenda…
Komentar
Respect
Mangprang
Kata-kata yang sering Ginan sebut :)
Gone but not forgotten