Ada berbagai cara
menyembuhkan trauma dan luka batin. Salah dua di antaranya dengan dongeng dan
menulis. Yessy Sinubulan adalah editor buku anak lepas, penulis, dan penyintas
kekerasan yang merintis Kokomang bersama dua temannya. Kokomang adalah komunitas
penyembuhan berbasis dongeng dan menulis.
Mengapa dongeng dan
menulis? Mengapa pula namanya Kokomang? Simak obrolan Yessy dan Dea dalam
wawancara berikut ini…
Yes, kenapa namanya
Kokomang? Apa, sih, sebenernya Kokomang ini?
Kokomang
ini terinspirasi dari film Korea yang berjudul “Hope”. Cerita tentang seorang
anak perempuan yang mengalami pemerkosaan parah hingga mengalami trauma berat.
Hope, nama si anak ini, takut melihat papanya. Takut melihat laki-laki. Apa
yang dilakukan Papanya agar bisa ketemu dan memeluk Hope? Papanya memakai
kostum Kokomang. Kartun kesayangan Hope.
Ooo…manis banget. Terus, kapan komunitas Kokomang kamu
terbentuk?
Ide
Kokomang sudah setahun yang lalu. Tapi mulai aktif Januari 2018. Awalnya aku
sendirian. Lalu alam semesta mempertemukanku dengan beberapa teman. Jadilah
sekarang bertiga.
Cerita dong tentang pertemuan kamu dan dua temen kamu itu…
Namanya
Farida dan Maria. Farida ini dipertemukan denganku saat kami jadi relawan untuk
teman-teman tunanetra. Dia tertarik dengan dunia menulis karena dia anak
sastra, kami langsung dekat. Lalu pelan-pelan aku cuci otaknya dengan
mimpi-mimpiku. Lalu dia terjebak. Heheh…
Kalau ketemu Maria gimana ceritanya?
Nah,
tapi aku dan Farida adalah duo maut yang suka menggratiskan semua hal. Saat
kami sadar Kokomang butuh uang, kami mendapat Maria. Aku dan Maria pernah
bekerja di kebun, tapi kami (ketika itu) tidak dekat. Kami mulai dekat di
Kokomang. Dia cinta anak-anak dan dunia healing,
jadilah dia ikut terjebak.
Apa yang bikin kamu ngerasa harus membuat Kokomang, Yes?
Hmm,
awalnya setelah nonton film “Hope” setahun yang lalu, aku terpikir membuat
komunitas dengan nama Kokomang.
Aku
harus membuat Kokomang karena anak-anak yang mengalami kekerasan seksual
jumlahnya sangat banyak, apalagi anak perempuan. Aku sendiri survivor dan
mengalami proses healing yang sangat
panjang. Jadi, aku ingin menyediakan sebuah tempat untuk anak-anak bisa healing lebih dini. Jadi mereka tidak
menghabiskan banyak waktu untuk bingung dan depresi seperti yang aku alami.
Makin ke sini aku makin paham bahwa kekerasan yang dialami anak lebih beragam
lagi. Verbal, emosional, spiritual. Tugas rumah Kokomang makin banyak deh.
Ngomong-ngomong, di antara sekian banyak kegiatan yg mungkin
dilakuin untuk healing, kenapa kamu
milih dongeng dan menulis?
Setelah
mendapatkan treatment saya baru sadar
kalau dongeng sudah menyelamatkan hidup saya. Suatu kali Bapak membelikan buku
dongeng untuk menemani saya di rumah sakit. Sejak saat itu, buku dongeng tak
pernah lepas dari tangan saya.
Dongeng
menciptakan dunia yang beda dari realita yang saya hadapi. Di dalam dongeng,
saya bisa jadi putri yang bisa melawan, ketemu peri yang memberi kue yang
lezat, ketemu keluarga yang memeluk dengan hangat. Ketemu teman-teman baru yang
tidak saya dapatkan karena saya hanya bisa berbaring di rumah sakit. Dongeng
itu ibarat perjalanan spiritual buat anak-anak. Mereka berada di dimensi lain,
jadi diri mereka sendiri, tanpa perlu khawatir terhadap apa pun. Dan yang
paling penting, dalam dunia dongeng apa pun bisa terjadi.
Seperti kehadiran sosok Kokomang di film “Hope”, ya,
realitasnya jadi beda. Nah. Kalau menulis?
Kenapa
lewat tulisan? Sesuatu yang disimpan di kepala kadang-kadang terlalu riuh dan
anak-anak sulit memahami. Menulis berarti mengeluarkan keriuhan itu sedikit
demi sedikit.
Kokomang ada kegiatan rutinnya, nggak?
Kegiatan
kita sekarang Klab Menulis Anak. Ini semacam treatment sederhana buat anak-anak. Misalnya mereka di-bully teman sekelas. Di kelas menulis
mereka akan membuat cerita soal katak yang diejek tupai. Untuk Klab Menulis
Anak ini dijadwalkan dua kali sebulan, di Bandung Creative Hub.
Menurut kamu, apa keseruan dari kegiatan yang sudah berjalan
selama ini?
Dunia
anak itu selalu seru dan penuh kejutan, asal kita jangan pernah memberi batasan
yang kaku. Anak-anak yang datang ke
acara Kokomang boleh ribut, boleh guling-guling, boleh teriak, boleh tiba-tiba
cerita random, dan boleh salah. Itu hak istimewa yang gak mereka dapat di luar.
Anak-anak
mendadak main petak umpet di tengah acara? Sudah biasa. Saya katakan, oke boleh
main lima menit setelah itu kembali menulis! Dan mereka sangat bahagia.
Anak-anak mendadak memimpin acara dan membuat drama versi mereka? Itu juga sudah
biasa. Saya duduk saja mengamati dan belajar sesuatu. Dan mengamati mereka juga
sangat menyembuhkan saya.
video dokumentasi Syam Kadarisman
Kalian nge-handle orang
dewasa yang juga butuh healing,
nggak?
Ada
pertemuan reguler untuk circle healing
sebulan sekali. Ini treatment khusus
untuk orang dewasa. Tempatnya masih pindah-pindah.
Apa yang membuat kalian expand
juga dari program healing anak-anak
ke dewasa?
Karena
saya mulai melihat anak-anak yang jiwanya tumbuh tidak seharusnya akan menjadi
orang dewasa yang gemar menyakiti.
Pendekatannya sama dengan ke anak-anak?
Dalam
circle healing kami juga memakai
dongeng sebagai treatment. Curhatan
yang berkedok dongeng ternyata relatif aman bagi sebagian orang karena kita
akan sulit menebak ini sebenarnya kasusnya apa. Jadi tak perlu ada alasan malu
untuk menceritakan “aib”.
Dongeng
juga membawa orang dewasa kembali mengenal "Inner Child" yang terluka
dan berani merawatnya.
Kalau ada yang ingin terlibat dengan Kokomang, ke mana
mereka bisa menghubungi?
Bisa
cek IG kita @kokomang_. Kalau ada orang dewasa yang mau konseling by email, boleh kirim ke e-mail
Kokomang: namadepantuhan@gmail.com.
Konseling
juga bisa lewat tatap muka. Buat yang konseling tatap muka cukup membayar
dengan buku bekas yang akan disumbangkan buat perpustakaan kita.
Apa mimpi terbesar Kokomang?
Mimpi
Kokomang yang paling besar adalah bikin Treatment Centre untuk healing trauma anak-anak. Sebuah rumah
kayu dikelilingi kebun dan sungai. Doakan ya!
Pasti! Semoga banyak yang terbantu dengan Kokomang, ya, Yes…
Amin…semoga
banyak anak-anak yang semakin bahagia…
Setelah mewawancara Yessy, Dea meng-googling informasi
seputar film “Hope”. Saat membacanya, perih dan haru seperti datang
bersama-sama menghampiri Dea. Realitas meminta pertolongan, kemudian dongeng
mengulurkan tangan, menyelamatkan realitas dari keterpurukan.
Teman-teman penyintas, bermimpilah yang indah tentang negeri
para peri. Semua yang nantinya harus terjaga butuh cukup beristirahat.
foto-foto dok. Yessy dan Kokomang
Komentar