Dari Kucing ke Kuching



Bau tai kucing yang tersiram hujan tahu-tahu merebak. Angkot yang tidak bergerak membuat aroma itu leluasa mencekik Dea. 
Untungnya, bapak-bapak di hadapan Dea segera mengambil balsam dari tas kecilnya. Ia menggosok kakinya yang digigit serangga.
Sengit tai kucing kalah. Aroma mint balsam berhasil menyelamatkan keadaan. Meskipun tidak bermaksud, dengan menggosokkan balsam, bapak itu sudah berbuat baik kepada seisi angkot, termasuk Dea.

Hari itu Cihampelas lebih macet daripada biasanya. Angkot yang Dea tumpangi mencoba mencari jalan pintas dengan memasuki jalan tikus yang tembus ke Rumah Sakit Advent. 
Alih-alih lebih cepat, kami malah semakin terhambat. Kemacetan membuat mobil-mobil berjajar nyaris seperti parkir di sepanjang jalan sempit tersebut.
Setelah hampir empat puluh lima menit, akhirnya kami berhasil melintasi Rumah Sakit Advent. Istri Bapak Balsam di hadapan Dea mengamati rumah sakit kemudian tiba-tiba bertanya kepada Dea, “Ini rumah sakit kerajaan?”
“Eh … umh … bukan.”
“Jadi privat?” tanyanya lagi.
“Iy … iya. Privat.”
Bapak Balsam mencolek istrinya, “Tak de kerajaan di sini, pemerintah.”
“Tapi faham kan?” Istri Pak Balsam tersenyum kepada Dea.
Dea membalas dengan senyuman juga. “Ibu sama Bapak dari Malaysia, ya?” tanya Dea.
"Ya," sahut keduanya hampir bersamaan.
Selanjutnya kami terlibat obrolan yang menyenangkan. Ternyata Bapak dan Ibu dari Malaysia itu akan turun di Purnawarman, satu tujuan dengan Dea.
“Kami nak pegi  Gramedia. Cari buku Islam yang sudah diterjemahkan. Di kami tak ada,” kata Pak Balsam.
Suami-istri itu menyebutkan tempat asalnya, sebuah kota dengan konsonan “s-b” yang tak dapat Dea tangkap dengan jelas bunyinya. Kendati begitu, ibu-ibu lain di angkot segera menangkap nama itu. Ia yang tadinya tidak memperhatikan kami dan asyik melempar pandang keluar jendela tiba-tiba melibatkan diri dalam pembicaraan, “Suami saya sudah tujuh tahun di Malaysia. Di Petaling Jaya.”
“Dekat tu dengan kami,” tanggap suami-istri dari Malaysia itu bersemangat.
Obrolan menjadi semakin meriah. Penumpang angkot yang kebetulan memang hanya kami berempat menjadi akrab. Pasangan suami-istri dan ibu berkerudung ungu itu membahas indahnya Petaling Jaya, makanan di sana yang mirip masakan Padang, dan jarak antara Petaling Jaya dan kota “s-b” yang cukup dekat. Dea menyimak dengan saksama.
“Ibu sering, dong, main ke Malaysia?” tanya Dea kepada ibu berkerudung ungu.
“Ah, enggak, Neng, suami pulang setahun sekali…”
Tiba-tiba Pak Balsam menyambar, “Di Malaysia banyak orang Indonesia berkawin lagi dengan orang Malaysia.”
Ya elah, Bapak ini fales banget, deh komentarnya, batin Dea.
“Iya. Istri di Indonesia tak dicerai. Jadi ada istri di sini, ada istri di sana,” timpal istri Pak Balsam.
Kecemasan terbit di mata ibu berkerudung ungu. Sejenak ia menyembunyikannya dengan kembali membuang pandang keluar jendela.
“Nggak semua begitu kok, Bu, yang baik dan setia juga banyak,” Dea mencoba menetralisir suasana.
Ibu berkerudung ungu mengembalikan pandangannya kepada kami, “Iya. Alhamdulillah suami saya udah tujuh tahun mah nggak pernah apa-apa. Baik. Setia. Suka telepon ke saya.”
Selanjutnya ibu berkerudung ungu bercerita banyak tentang suaminya seperti menenangkan dirinya sendiri. Di sela cerita, kami jadi tahu anak perempuannya juga tinggal dan bekerja di Petaling Jaya, megurus dan memperhatikan sang ayah menggantikan ibunya.
“Amanlah tu,” komentar istri Pak Balsam.
Ibu berkerudung ungu tersenyum, tampak lebih tenang.
“Yang penting kuat imannya,” tambah Pak Balsam.

***

Sejenak kami kehabisan bahan pembicaraan. Masing-masing sibuk memperhatikan jalan dengan pikiran masing-masing. Tahu-tahu ibu dari Malaysia bertanya lagi kepada Dea, “Kapan bila?”
“Bila?”
“Maksudnya sampai, kapan sampai,” ibu berkerudung ungu menerjemahkan.
“Ooo … sebentar lagi, Bu. Nanti turun bareng aku, kok. Aku kasih tahu kalau udah di Gramedia, ya …”
Sebentar kemudian “bila”-lah kami di tujuan. Suami-istri dari Malaysia dan Dea turun di daerah Purnawarman, sementara ibu berkerudung ungu masih akan melanjutkan perjalanannya.
Kami saling melambai, mengucapkan doa-doa baik semacam “hati-hati di jalan”, dan kembali menjadi orang-orang asing bagi satu sama lain. Suami-istri dari Malaysia masuk ke Gramedia, sementara Dea berbelok ke Bandung Electronic Center persis di seberangnya. Di lantai teratas Dea membeli minuman khas Negeri Jiran: Air Mata Kuching.
Kesejukan Air Mata Kuching dan kisah perjalanan hari itu tersesap bersama-sama. Sore itu Dea menyadari satu hal. Betapa perjalanan kerap mengikat kita dengan benang-benang merah yang mudah retas. 


Komentar