Catatan Kecil Tentang Mas Hikmat Darmawan


“Tempel aja nih, Mas Hikmat?”
“Iya, tempel aja…”
“Nggak usah pakai bates buat ngelurusin?”
“Nggak, nggak usah…”

Maka Dea, Vai (adik Dea), dan beberapa teman dari Akademi Samali membantu Mas Hikmat Darmawan menempelkan komik-komik Akademi Samali dinding Galeri Nasional. Ceritanya karya-karya itu akan dipamerkan di CP Open Bienalle 2003: Interpellation.

Setelah komik-komik selesai ditempel berjajar, kami mengambil jarak sedikit untuk melihat hasilnya secara keseluruhan. Ternyata…


“Mas, kayaknya miring, ya?” tanya Dea sambil mengamati jajaran komik di dinding yang semakin ke kanan semakin ke atas.
“Iye, si. Tapi cueklah, nggak akan ada yang meratiin…”

Beberapa saat kemudian, seorang mas-mas datang.  Sambil mengerutkan kening ia bertanya, “Mat, kok ini masangnya miring?”
Sesaat suasana menjadi awkward.
Namun, setelah mas-mas itu berlalu, Mas Hikmat berkomentar santai, “Paling cuma satu orang itulah yang sadar…”

Ternyata dugaan Mas Hikmat salah. Seorang mbak-mbak muncul menaiki tangga. Sebelum sampai ke lantai dua, begitu melihat komik di dinding, ia langsung menghentikan langkahnya, “Mat, kenapa lu masangnya miring?”

JRENG JENG JENG …



Demikianlah perkenalan pertama Dea dengan Mas Hikmat Darmawan. Ketika itu kebetulan Dea sering nangkring-nangkring di Galeri Nasional menjelang pameran CP Open Bienalle 2003: Interpellation dibuka.

Ketika bertemu, Dea mengenal Mas Hikmat sebagai co-founder komunitas komik Akademi Samali. Seperti tipikal umum Gemini, ia cepat akrab, ringan, dan senang mengobrol. Sama sekali tidak ada kesan “berat” yang ditampilkannya.

Padahal di kemudian hari Dea tahu bahawa Mas Hikmat adalah budayawan yang tidak main-main. Ia kolumnis dengan tulisan-tulisan yang tajam dan bernas, peneliti yang cukup senior, juri Festival Film Indonesia, Anggota Komite Film Dewan Kesenia Jakarta, editor Majalah Madina, dan lain-lain. Ada berbagai predikat “berat” yang disandang namanya.

Kendati begitu, Mas Hikmat tetap Mas Hikmat. Walaupun predikat-predikat itu siap menjunjungnya tinggi-tinggi, ia memilih untuk membumi. Mas Hikmat dapat hadir sebagai pembicara di forum budaya bergengsi, tetapi tak canggung hadir santai sambil bercanda receh di acara anak-anak kemarin sore. Ia berkali-kali diberangkatkan untuk berbagai acara besar di Eropa, tapi tak segan jalan-jalan semi menggembel bersama kami-kami.

Meskipun mudah berubah-ubah seperti cuaca dan kadang ajaib, Mas Hikmat tak pernah menjadi sosok munafik yang berlapis-lapis. Inilah yang membuatnya selalu berada di jajaran true friend untuk Dea. Ia juga kerap melakukan tindakan-tindakan mengejutkan.

Menerbitkan 22 buku sekaligus adalah salah satu tindakan mengejutkan yang dilakukannya.

Evelyn Gozhali, Dea, Mas Hikmat, Ardi-Tata Bookslife.co

“Dari kapan punya rencana nerbitin 22 buku, Mas? Udah lama, ya?” tanya Dea begitu sampai di Jakarta untuk menghadiri acara Hajatan 22 Bukunya.
“Nggak juga. Kira-kira sebulan yang lalulah,” sahut Mas Hikmat santai.
“SEBULAN?!!”
“Naskahnya malah baru masuk ke gue dua minggu yang lalu, Dea,” timpal Mbak Tata dari Bookslife.co yang bertugas menyunting karya-karya Mas Hikmat.

Hari itu, tanggal 22 Mei 2018, tepat di hari ulangtahunnya Mas Hikmat menerbitkan 22 eksemplar buku dengan konsep multiplatform. Ada buku yang diterbitkan penerbit major Gramedia dan Plot Point, ada yang memakai sistem print on demand bersama Nulisbuku, dan banyak di antaranya—hingga memenuhi kuota 22 buku—yang diterbitkan oleh penerbit digital Bookslife.co.

Tulisan-tulisan yang dihimpunnya dari berbagai masa pun beraneka ragam adanya. Mulai dari esei-esei Islam, komik, hingga puisi-puisi cinta. Dea (lagi-lagi) merasa dikejutkan oleh banyaknya karya Mas Hikmat yang tersimpan entah di mana selama ini.

Di co-working space Ruang dan Tempo, persisnya di Ruang Bersatu, diadakan diskusi kecil membahas penulisan multiplatform. Di sana Dea semakin menyadari betapa Mas Hikmat dikelilingi teman-teman yang “multiplatform”. Dan di hari ulangtahunnya, pada peluncuran 22 eksemplar bukunya, Mas Hikmat yang seharusnya menjadi bintang pada acara hari itu justru memilih menjadi moderator diskusi. Ia menjadi titik temu yang mempersatukan teman-teman dari latar belakang berbeda-beda, lantas memberikan panggung untuk cerita-cerita mereka. 

Pemred Tempo Arif Zulkifli, Mas Hikmat, Dea  

Mas Hikmat, Mas Ardi (Bookslife), B. Yotenega (Nulisbuku)  

Dea mencoba mengurutkan nama-nama kelompok dan komunitas yang bisa Dea ingat. Banyak di antaranya bangkit karena dukungan Mas Hikmat. Ia melakukan itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan agar kebaikan, kesenian, dan kemanusiaan dapat disampaikan dengan lebih luas.

Bareng Mbak Mardiyah Chamim, kuncen Tempo Institute

Selama lebih dari satu dasawarsa, Dea mengenal Mas Hikmat sebagai Gemini dengan banyak sisi. Kadang-kadang ia seperti bocah yang mengoceh tentang apa saja, kadang-kadang arif dan bijaksana seperti seorang ayah, tetapi ia selamanya menjadi sosok yang Dea hormati tanpa tetapi. 

Ruang dan Tempo dibagi menjadi tiga wilayah: Bangkit, Bersatu, dan Berjuang.

Dea mundur ke ruang pertama, Ruang Bangkit, sambil menelusuri ingatan.

Dari sana Dea bisa melihat hamparan kota Jakarta dan matahari yang menyinarinya sekaligus. 


Komentar