Minggu ini Dea belum sempet nulis
apa-apa untuk diposting. Tadinya sempet kepikir mau bikin cerita random yang
garing-garing, tapi akhirnya Dea mutusin untuk cerita sedikit tentang apa-apa
aja yang Dea lakuin sepanjang minggu ini.
Diskusi Buku “Bukan
Perawan Maria”
Sabtu, 21 April 2018
Kumpulan cerpen Feby Indirani ini
adalah karya terbaik yang Dea baca sepanjang 2017. Ceritanya witty, ngritik kehidupan beragama
dengan jeli, tapi nggak judgemental. Di sisi lain pembaca diajak memahami dan
berempati sama tokoh-tokoh yang dikritik.
Di kemudian hari, Dea baru tau kalau Teh Feby ngangkat topik ini karena buat dia Islam adalah tradisi, sesuatu yang jadi akar dan selamanya menambat Teh Feby. “Gue lahir di Jakarta, meskipun nyokap gue Minang dan dominan, di rumah gue berbahasa Indonesia,” papar Teh Feby. Bukan darah dan kesukuan, tapi Islamlah yang bikin Teh Feby ngerasa punya identitas latar belakang.
Di kemudian hari, Dea baru tau kalau Teh Feby ngangkat topik ini karena buat dia Islam adalah tradisi, sesuatu yang jadi akar dan selamanya menambat Teh Feby. “Gue lahir di Jakarta, meskipun nyokap gue Minang dan dominan, di rumah gue berbahasa Indonesia,” papar Teh Feby. Bukan darah dan kesukuan, tapi Islamlah yang bikin Teh Feby ngerasa punya identitas latar belakang.
Dea jadi ngerti kenapa Teh Feby jadi
punya sudut pandang yang unik tentang Islam. Mungkin seperti idup di
tengah-tengah keluarga besar. Kadang-kadang kita kritis ngeliat oom ini, tante itu,
tapi kita sayang mereka dan bakal selalu pasang badan kalau ada apa-apa sama
mereka. Bisa jadi dibanding orang lain yang bukan anggota keluarga kita, kita juga yang lebih bisa ngeliat kebaikan-kebaikan oom dan tante ini.
Buat Dea, suatu kehormatan diajak
jadi pembahas waktu diskusi bukunya digelar di Bandung, di Nimna Book Café. Ada
banyak hal dan sudut pandang menarik yang bisa diliat dari buku ini.
Dea juga seneng bisa denger latar belakang di balik cerita-cerita yang ditulis Teh Feby. Ada sepenggal inspirasi dari sebuah pesantren di Gegerkalong, Bandung, ada cerita yang muncul dari ide pop-up di kepala Teh Feby, ada juga yang ditulis ngalir aja.
Dea juga seneng bisa denger latar belakang di balik cerita-cerita yang ditulis Teh Feby. Ada sepenggal inspirasi dari sebuah pesantren di Gegerkalong, Bandung, ada cerita yang muncul dari ide pop-up di kepala Teh Feby, ada juga yang ditulis ngalir aja.
Salah satu hal menarik dari diskusi hari
itu, ada dua hadirin yang dateng dengan perjalanan spiritual bertolak belakang.
Tapi keduanya berbagi pengalaman dengan hangat, nggak ada perdebatan
gontok-gontokan untuk menentukan perjalanan siapa yang paling betul, bahkan akhirnya berempati dan saling memahami. Ini pas
banget sama gerakan “Relaksasi Beragama” yang diusung bersamaan dengan kumcer “Bukan
Perawan Maria” ini.
Hari itu Hari Kartini dan ulangtaun
kedua Nimna Book Café. Kebetulan banget orang-orang yang terlibat di acara itu
kebanyakan perempuan. Teh Feby sendiri sebagai novelisnya, Anastha Eka sebagai
PIC yang heboh wara-wiri ngurusin segalanya, Abi Ardianda sebagai moderator diskusi,
dan Dea sendiri yang bertugas sebagai pembahas.
Nimna Book Café yang cozy pun
dimotori oleh dua perempuan super yang bersepupu. Stephania Astrapia dan Della
Angelina.
Nah, yang lucu lagi, di dramatic reading yang dipersembahkan temen-temen @cswritersclub, tokoh Sasmita diperanin sama Ayu Oktariani. Eka yang bertugas mengatur pemeran berasumsi kalau Sasmita ini perempuan, padahal setelah diobrolin, yang lain berasumsi kalau Sasmita laki-laki ehehehe …
Nah, yang lucu lagi, di dramatic reading yang dipersembahkan temen-temen @cswritersclub, tokoh Sasmita diperanin sama Ayu Oktariani. Eka yang bertugas mengatur pemeran berasumsi kalau Sasmita ini perempuan, padahal setelah diobrolin, yang lain berasumsi kalau Sasmita laki-laki ehehehe …
Itu Sasmita di tengah. Total banget. |
“Akhirnya di buku ini setiap orang
melihat refleksi dirinya sendiri,” kata Teh Feby. Teh Feby betul. Buku yang
nggak judgemental ini ngasih kebebasan memilih sudut
pandang dan membangung interpretasi.
#DukunZombiBercerita
#TemanSenimanBertindak
Sepanjang taun ini, bersama Zodiak
Gembira alias Zombi, Dea bikin project lucu-lucuan. Jadi setiap pergantian
zodiak Dea akan nyeritain mitologi di balik setiap zodiak.
Setelah itu akan ada seniman yang merespon si mitologi itu dengan karya. Di edisi pertama—Aries—Dea ngajak Wokinhos untuk ngerespon. Artha, dalang Wokinhos, adalah Solar Capricorn-Aries rising. Lengkapnya kamu baca di sini aja, ya.
Setelah itu akan ada seniman yang merespon si mitologi itu dengan karya. Di edisi pertama—Aries—Dea ngajak Wokinhos untuk ngerespon. Artha, dalang Wokinhos, adalah Solar Capricorn-Aries rising. Lengkapnya kamu baca di sini aja, ya.
Edisi pertama ini agak heboh karena
Dea yang Solar Gemini “mengikuti ke mana angin berhembus”. Di tengah jalan
tau-tau Dea kepikiran untuk berkolaborasi dengan Podluck Podcast. Dea nggak tau
apa itu Podcast, nggak ngerti gimana cara bikinnya, tapi hayuan aja belajar dan
coba bikin. Hasilnya bisa kamu denger di sini:
Setelah heboh belajar dan bikin
Podcast, secara impulsif Dea nawarin tulisan Dea ke Majalah Pabrikultur. Jadi,
selain rekaman di Podluck Podcast, akan ada cerita versi tertulisnya di media
itu. Kontennya agak beda. Kalau di Podluck Podcast Dea lebih banyak ngobrol dan
ngejawab pertanyaan temen-temen yang pengen tau tentang zodiak terkait, di
Majalah Pabrikultur Dea konsentrasi ke senimannya. Karya si seniman kan juga
bisa diposting dan diliat di situ.
Karena segalanya serba tiba-tiba dan
baru, mohon maaf kalau edisi pertama agak belepotan. Agak overtime juga nyusun Ariesnya karena beberapa kendala teknis dan hal-hal di luar rencana.
Moga-moga bulan depan rapian dan
tetep seru :D
Verindischen
Semoga nggak bosen, ya, Temen-temen,
denger kabar tentang proyek yang satu ini…
Proyek kolaboratif bersama
temen-temen Petik Production, Indie Art Project, dan kini Nawalapatra ini masih
terus berjalan. Dea juga nggak tau apa yang bikin Dea selalu optimis dan nggak
pernah give up untuk proyek yang satu ini.
Beberapa waktu yang lalu novelanya
udah selesai. Tapi kami akhirnya sepakat untuk memadatkan si novela jadi
novel utuh. Strukturnya dibongkar lagi. Minggu ini, Dea memulai proses mentoring
bersama editor novelnya, Jia Effendie.
Perjalanan masih akan panjang, tapi moga-moga
akan bikin karyanya lebih baik. Ada banyak pencerahan setelah ngobrol-ngobrol
sama Jia hari Selasa kemaren.
Drop-in Dialogues by
Fat Velvet
Tanggal 29 April ini Dea bakal ngisi
kelas penulisan kreatif di acara ini. Jadi di sela-sela berbagai kerjaan dan
kegiatan nyuci, masak, bersih-bersih rumah, Dea bikin materi dan kembali
ngelatih public speaking hasil les sama Theoresia Rumthe beberapa bulan lalu.
Begitulah kira-kira. Rencananya Dea cuma mau nulis dikit. Kenapa malah jadi panjang begini, ya?
Oh iya, sebagai bonus iklan, tanggal
28 April ini bakal digelar konser Enigma Bandung Philharmonic Orchestra di Dago
Tea House. Silakan dimampiri ya …
Salamatahari, semogaselaluhangat dan
cerah,
Sundea
Komentar