Mampir

Di antara para pedagang Borobudur yang riuh menawarkan dagannya dengan agresif, sayup saya mendengar nyanyian jenaka.

“Hari ini endak rampung, hari ini endak rampung …”

Meski suara-suara lain berusaha menelannya, telinga saya memilih nyanyian itu. Saya mencari arah suara tersebut dan mendapati mas-mas berkaca mata sedang asyik berkerajinan tangan tanpa berusaha berseru-seru menarik perhatian pengunjung.
“Wih, bikin apa ini, Mas?” sapa saya.
Si mas menoleh kemudian tersenyum ramah, “Bikin angkringan. Ini ada yang baru siap-siap, ada yang lagi ngobrol-ngobrol, ada juga yang … sebentar …,” katanya seraya mengambil sesuatu di belakang barang-barang dagangannya, “ini baru diangkut Satpol PP,” katanya sambil menunjukkan diorama angkringan yang masih kosong. Saya tergelak. 


 Namanya Mas Indrayana Arief. Sehari-hari ia menggarap seni diorama berbahan aneka limbah sampah, lalu menjajakannya di pasar souvenir candi Borobudur. 


“Limbah sampahnya apa aja, Mas?” tanya saya.

“Ini misalnya,” kata Mas Indrayana sambil menunjukkan kemasan-kemasan minuman instant. Selain itu ada pula kaleng, kayu, kertas, dan bahan-bahan lainnya. Mas Indrayana memanfaatkan apapun yang ada.

“Dapet sampahnya dari mana?” tanya saya lagi.

“Begitu tahu saya suka bikini beginian, ada tetangga yang suka ngasih,” sahut Mas Indrayana. 




Meskipun hampir semua karyanya bertema angkringan, tidak ada satu diorama pun yang sama persis. Masing-masing punya cerita sendiri-sendiri. Dengan lucu dan teatrikal, Mas Indrayana memaparkan cerita, lengkap dengan dialog-dialognya.
Saya jadi memperhatikan betapa telitinya Mas Indrayana membangun karakter dalam setiap bingkai. Ada nasi bungkus yang maha kecil, botol-botol minuman, kukusan, bahkan lukisan mini. Bahasa tubuh tiap tokohnya pun hidup sekali.
“Ini bisa custom nggak, sih, Mas?” tanya saya.
“Bisa, selama orang-orangannya tetep botak-botak.”
“Hahaha … kenapa harus botak?”
“Kan saya harus punya ciri khas … hahaha …yah, tapi kalau orangnya perempuan bisa saya kasih topi atau kerudung.”


Saya sempat bertanya sejak kapan Mas Indrayana mulai membuat diorama. Namun, saya tidak ingat apa jawabannya. Yang saya ingat adalah apa yang saya tanyakan selanjutnya.
“Kalau begitu, sebelum bikin ini, masnya kerja apa?”
Selama beberapa detik, saya merasa ada ekspresi yang berubah di wajah Mas Indrayana. Saya sempat khawatir ada yang salah atau menyinggung dengan pertanyaan saya.
“Sebetulnya saya ini orang IT, Mbak,” sahut Mas Indrayana.
“Oh, gitu …”
“Saya dari Semarang, istri saya orang sini. Istri saya nggak betah tinggal di Semarang, katanya panas. Jadi kita pindah ke sini. Daripada nganggur, saya coba bikin ini,” cerita Mas Indrayana.
Ia menyapukan pandangannya kepada karya-karyanya sendiri. Tatapannya bermuara pada karya “hari ini endak rampung” yang sedang digarapnya. Sebentar kemudian, seperti anak-anak yang mudah dibuat senang, keriangannya kembali penuh. Ia meraih nasi bungkus mini buatannya yang hanya sebesar kuku kelingking saya, “Ini boleh dibawa pulang kalau mau. Buat bekal di jalan.”



Saya kembali tergelak.
Sebentar kemudian, saya harus pamit pulang karena akan segera kembali ke Bandung naik kereta api.
Dalam perjalanan singkat menuju gerbang Borobudur, seperti lalat-lalat hijau yang mengerubungi sampah, pedagang-pedagang yang agresif dan kasar kembali mendesak-desak saya membeli dagangannya. Mereka tidak mempedulikan etika, apa lagi kenyamanan orang lain. Mereka hanya peduli bagaimana menjual, seperti apapun caranya. Sikap mereka justru membuat saya meneguhkan hati untuk tidak membeli apa-apa dari mereka.
Kios yang betul-betul berhasil menarik perhatian saya hanyalah kios Mas Indrayana. Sayangnya saat itu saya tidak punya cukup uang untuk membeli. Saya juga tidak ingin menawar dengan harga rendah karena saya menghormati apa yang ia buat sebagai karya. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan untuk menunjukkan rasa hormat saya adalah membuat tulisan ini.
Katanya Mas Indrayana berlatar belakang IT.
Ketika ia akhirnya melangkah di jalur seni, apakah ia tersesat, sekadar sedang mampir, atau justru dituntun hidup menuju jalan renjana?





Temui Mas Indrayana Arief di laman facebook "icania-can  creative handmade"
atau 
akun instagram "@icaniacan_handmade"


Komentar