-Melbourne, 30 Maret 2017-
Noble Park
“Itu apa? Kok ada Afrika-afrika?”
saya menempelkan wajah saya ke jendela kereta.
“Nanti abis dari Springvale kita
balik lagi aja ke situ. Mau?” tanya suami saya.
“Mau.”
Di Melbourne yang multikultural, kita
seakan bisa melintasi benua dalam beberapa menit saja. Setelah mampir di Springvale,
sebuah Vietnam kecil, kami bergerak ke Noble Park. Noble Park bukan tempat yang
terlalu populer. Dia bukan daerah wisata dan jauh dari keramaian. Tetapi di
salah satu sisi jalannya yang mirip Afrika kecil, kami menemukan hal-hal yang
unik dan otentik.
Salon
Di sepanjang jalan yang tidak terlalu
panjang, salon berjajar seperti tukang fotokopi di daerah Kwitang. Melalui penyanyi
R & B dan selebritis lainnya, kami tahu teman-teman ras negroid punya
kebiasaan menata rambut secara unik. Tapi baru hari itu kami menyadari bahwa
variasi rambut mereka lebih banyak, rumit, dan serius daripada yang kami
bayangkan.
Ini barbershop. Iya. Barbershop.
Bahkan di suatu barbershop yang biasanya terbilang lebih ringkas, pilihan model
rambut bisa sebanyak ini.
Saya jadi mengerti mengapa kini model
rambut afro terkesan 70an sekali. Sepertinya memang sudah tidak banyak pemuda
yang membiarkan rambut mereka tumbuh natural mengembang apa adanya.
Tapi saya juga baru sadar. Belakangan
ini semakin banyak barbershop gaul di Indonesia. Iya kan ya?
Toko
Satu-satunya toko di sepanjang jalan
Noble Park adalah sebuah toko kelontong yang penuh sesak. Di sana lagi-lagi
kami menemukan berbagai produk pendukung perawatan rambut.
Dan di antara berbagai produk yang
ada di sana, kami terkesan pada biskuit yang bisa menjadi hadiah kelulusan ini:
Akelo
Setelah melihat-lihat toko kelontong,
kami mengisi perut di restoran Pak Stephen Lual. Dari antara sekian pilihan
menu, kami akhirnya memilih ini. Akelo:
Makanan ini dibuat dari tepung dan
gandum. Hari itu kami makan akelo yang disandingkan dengan ikan, sayur-sayuran,
dan saus beraroma rempah-rempah. Tapi pada prinsipnya akelo ini seperti roti
atau nasi. Ia bisa disandingkan dengan apa saja, termasuk yoghurt.
Jika di Springvale makanan besar
biasanya dihidangkan bersama setermos teh panas, di Noble Park makanan besar
dihidangkan dengan air es dalam sebuah botol kaca yang berembun. Segar sekali.
Porsi akelo terlihat biasa-biasa
saja, tapi ternyata makanan ini benar-benar padat. Suami saya dan saya memesan
sepiring akelo untuk berdua kemudian kenyang sepanjang hari. Kata Pak Stephen
Lual, akelo ini memang dimakan untuk bekal perjalanan panjang. “Supaya di jalan
nanti nggak lapar-lapar lagi,” kata Pak Stephen Lual.
“Ini sama dengan couscous, Pak?”
tanya suami saya kepada Pak Stephen Lual.
“Bukan, ini akelo. Couscous
butirannya lebih kecil-kecil,” sahut Pak Stephen Lual yang memproduksi sendiri
butir-butir akelonya.
Ajaibnya, kami tidak bisa menemukan
keterangan tentang akelo di internet. Padahal ia jelas-jelas menu yang nyata.
Bukan gosip, bukan hoax.
Sayangnya, karena sudah keburu
kekenyangan, kami tidak sempat mencicipi menu-menu lain di restoran Pak Stephen
Lual. Tapi kami menyimpan kartu nama dan nomor kontaknya.
Kalau ada sumur di ladang, boleh kita
menumpang mandi
Kalau ada umurku panjang, boleh kita
berjumpa lagi.
Maaf fotonya burem. Cuma ada ini:
Harga tanah di daerah Noble Park
tidak pernah naik, tapi daerah itu tetap sepi. Konon di wilayah itu dan
Dandenong, stasiun tetangganya, tingkat kriminalitas lumayan tinggi. Tidak
banyak orang yang berani tinggal di sana dan jelas Noble Park bukan wilayah
favorit.
Tapi – entah karena saya datang di
siang hari atau sedang beruntung saja – saya suka tempat itu. Kesan saya ketika
datang ke sana justru baik sekali. Penduduk di sana tampak tulus-tulus dan
(kecuali rambutnya) serba apa adanya. Tidak semua seramah Pak Stephen Lual,
tapi saya merasa nyaman karena yakin mereka tidak bertopeng. Respon mereka
terhadap kita tidak berliku. Kebaikan yang kita beri dan terima pun sampai
sebagaimana adanya. Di tempat yang katanya tinggi tingkat kriminalitasnya, saya
justru tak merasa perlu memulai setiap komunikasi dengan kecurigaan.
Noble Park artinya “Taman yang
Mulia”. Saya jadi mengingat-ingat. Di sekitar saya, apa saja yang akhir-akhir
ini dianggap sebagai yang mulia? Kepada hal-hal itu saya justru sering merasa
perlu lebih berhati-hati. Ada tata krama yang tidak terlalu sederhana, lapisan
topeng yang harus dipahami tanpa disingkap, makna kalimat yang
bercabang-cabang, dan penilaian-penilaian yang tersirat. Kepada mereka saya pun
kerap perlu mencermati sikap-sikap saya sendiri. Jangan sampai perilaku saya
tak menunjukkan hormat dan menimbulkan salah paham. Jangan sampai ada
urusan-urusan kepentingan yang bersinggungan. Tiba-tiba saya merasa lelah.
Kereta yang berderak meninggalkan
Noble Park seperti masih melanjutkan perjalanannya sampai hari ini. Ia singgah
sekali-sekali setiap saya merasa menemukan potongan jawaban atas pertanyaan
saya sendiri:
Sebetulnya apa yang sungguh-sungguh
mulia dan perlu dimuliakan?
Sundea
Komentar