Merpati Pos terbang menuju rumah Anak
Beruang. Ia membawa selembar kartu di paruhnya. Anak Beruang menyambutnya
dengan suka ria. Meski tak bisa membaca, Anak Beruang selalu senang mendapat
surat dan kartu. Ia tahu selalu ada kabar atau pesan di sana. Biasanya penuh
kejutan.
“Terima kasih, Merpati,” kata Anak
Beruang setelah kartu pos sampai di tangannya.
“Terima kasih kembali,” sahut Sang
Merpati seraya menukik, terbang lagi untuk mengantar pesan-pesan selanjutnya.
Sepeninggal Merpati Pos, Anak Beruang
membulak-balik kartu yang baru diterimanya. Ada foto beruang kecil berbulu
pelangi di sana. Siapa dia? Buru-buru Anak Beruang berlari-lari mencari Ibu
Beruang.
“Ibu, Ibu, ada kartu pos. Ini siapa?
Apa tulisannya?” dengan tidak sabar Anak Beruang menyerahkan kartu itu kepada
Ibu Beruang.
Ketika Ibu Beruang senyum-senyum
membaca pesan yang tertulis, Anak Beruang yang sangat penasaran jadi gelisah
seperti kebelet pipis.
“Siapa dia? Apa tulisannya?” Anak
Beruang mengulang pertanyaannya.
“Ini Bella. Famili kamu yang tinggal
jauuuuh…di Melbourne, Australia…”
“Astra …As …Astralia,” Anak Beruang
mencoba mengulangi.
“Dia belum pernah datang ke sini,
padahal orangtuanya kadang-kadang mampir,” kata Ibu.
“Memangnya aku punya paman dan bibi?”
“Ada. Tapi bukan beruang.”
“Ho?”
Ibu Beruang meletakkan keranjang
jemurannya, lalu duduk di dekat meja setrika. Anak Beruang menunggu Ibu Beruang
melanjutkan penjelasannya.
“Sebetulnya Matahari sudah seperti
saudara angkat Ibu. Ketika kecil Ibu sering bermain dengannya. Kakek dan
nenekmu juga menyayangi Matahari. Sampai-sampai kami sering menganggapnya
beruang juga,” papar Ibu Beruang.
“Meski begitu, Matahari tetap bukan
beruang. Ia tidak bisa betul-betul tinggal bersama kami. Setiap hari Matahari
harus bertualang keliling dunia supaya ada malam dan siang. Dulu Ibu tak pernah
suka melepasnya pergi dan selalu menangis ketika malam datang. Tapi ketika Ibu
sudah semakin besar, Ibu belajar untuk membebaskan Matahari.”
“Persahabatan Ibu dan Matahari
seperti aku dan Angin,” tanggap Anak Beruang. “Bedanya, aku tidak pernah
berusaha menahan Angin.”
“Mungkin … setiap beruang kecil
memang mempunyai sahabat semacam itu. Dulu, di belahan bumi lain, ada seekor beruang
kecil yang bersahabat dengan
Hujan. Beruang itu sepertinya sekarang sudah seumur dengan Ibu," Ibu Beruang menaksir-naksir.
"Waktu Ibu Kecil, sepulang jalan-jalan, Matahari kadang bercerita tentang mereka. Matahari sering mengajak Ibu berkenalan dengan Hujan dan beruang kecil itu. Tapi Ibu tidak pernah mau,” tutur Ibu Beruang sambil mulai menyetrika baju yang baru diangkatnya dari jemuran.
"Waktu Ibu Kecil, sepulang jalan-jalan, Matahari kadang bercerita tentang mereka. Matahari sering mengajak Ibu berkenalan dengan Hujan dan beruang kecil itu. Tapi Ibu tidak pernah mau,” tutur Ibu Beruang sambil mulai menyetrika baju yang baru diangkatnya dari jemuran.
“Kenapa tidak mau? Kan seru. Ibu
sombong, ih…”
“Bukan sombong, Anak Beruang. Sejak
kecil Ibu itu tahu apa yang bahaya, tidak seperti kamu," kata Ibu sambil menunjuk Anak Beruang dengan gerakan kepala, sementara tangannya tetap tangkas menyetrika.
"Ibu tidak mau bermain jauh-jauh kemudian tersesat dan membuang-buang waktu. Ibu juga tak akan mengambil risiko bertemu dengan pemburu atau binatang yang bisa mencelakakan Ibu,” kata Ibu Beruang sambil melipat baju yang baru disetrikanya.
"Ibu tidak mau bermain jauh-jauh kemudian tersesat dan membuang-buang waktu. Ibu juga tak akan mengambil risiko bertemu dengan pemburu atau binatang yang bisa mencelakakan Ibu,” kata Ibu Beruang sambil melipat baju yang baru disetrikanya.
Anak Beruang yang sudah hafal prinsip
Ibu Beruang tidak berkomentar lagi. Meski begitu, ia tetap tidak sependapat.
Anak Beruang tidak takut mengambil risiko. Baginya, setiap risiko berhadiah
pengalaman dan mungkin teman baru.
Karena asyik menyetrika, Ibu Beruang
sempat lupa melanjutkan ceritanya. Tapi ketika melihat anaknya masih berdiri
penasaran menunggu, Ibu tersenyum dan menyambung cerita nostalgianya.
“Ibu lalu menjadi dewasa. Matahari
juga. Kami bersikap seperti dua makhluk yang memang sudah dewasa. Kami tak
pernah bermain lagi, tapi Matahari masih selalu datang untuk membantu Ibu
mengeringkan jemuran. Sampai, pada suatu hari tiba-tiba Matahari kembali
menyapa Ibu.”
“Dia bilang apa?” tanya Anak Beruang
sambil naik ke atas meja setrika.
“Turun dulu dari situ, Anak Beruang!
Ambil kursi dan duduk yang betul! Kalau tidak, Ibu tidak akan melanjutkan.”
“Okeee,” sahut Anak Beruang sambil
melompat turun dari meja setrika.
Ketika Anak Beruang sudah menarik
kursi kecilnya dan duduk manis di samping Ibu Beruang, barulah Ibu melanjutkan
ceritanya, “Matahari bilang, ia masih sering bertemu dengan Hujan, tapi jarang berjumpa
dengan beruang yang dulu bersahabat dengannya. Pada akhirnya Matahari dan
Hujan saling jatuh sayang. Mereka menikah dan melahirkan beruang kecil berbulu
pelangi.”
“Ya, Bella. Matahari dan Hujan lalu
menitipkan Bella pada gadis kecil yang manis di Melbourne, namanya Annika.
Annika sangat menyayangi Bella dan menjaga Bella baik-baik. Ibu ikut senang
mendengarnya, meski Ibu sendiri belum pernah bertemu Bella. Bahkan baru
sekarang Ibu melihat fotonya di sini.”
“Kenapa Ibu tidak menjenguk ketika
Bella lahir?” tanya Anak Beruang.
Ibu Beruang menghela nafas, “Ibu
sudah bilang. Ibu tidak mau pergi jauh-jauh. Untuk sampai ke Australia, kita
bukan hanya harus keluar dari hutan, tapi juga melintasi lautan. Kamu tahu,
Anak Beruang? Itu berbahaya. BER-BA-HA-YA!” tegas Ibu Beruang.
“AS-TRA-LIA,” tanggap Anak Beruang
tidak terlalu nyambung.
Ibu kembali asyik menyetrika.
Menekuni kegiatan yang itu-itu lagi, melipat baju-baju dengan telaten, dan
mengabaikan kartu pos Bella yang ada di sisinya. Anak Beruang meraih kartu pos
itu dan membawanya keluar.
Ibu Beruang sangat serius dan
kadang-kadang membosankan. Ketika kecil, ia dan Matahari bermain apa saja, ya?
Sepertinya tidak seru.
Tiba-tiba Anak Beruang jadi ingin
pergi ke “As-tra-lia”. Bermain dengan Bella dan Annika. Berkenalan dengan Hujan
dan Matahari. Kemudian menjadi detektif; mencari beruang seumur Ibu yang dulu
bersahabat dengan Hujan. Seperti apa kira-kira beruang itu, ya? Seperti Ibu?
Seperti Ayah? Atau seperti Anak Beruang yang suka berlari-lari mengejar apa
saja?
Matahari menangkap isi pikiran Anak
Beruang. Ia memendarkan pertanyaan-pertanyaan itu menjadi berkas-berkas cahaya.
Sundea
Komentar