Nama Dimas Ario tidak
asing di kalangan pencinta musik indie. Selama lebih dari satu dekade, lelaki
Virgo ini konsisten bergerak di dunia tersebut. Selain pernah menjadi personil
band indiepop Ballads of the Cliché, Dimas juga terkenal dengan
mixtape-mixtape-nya, pernah mengasuh program “Pop Circle” di Rase FM, dan aktif
membuat ulasan-ulasan musik. Saat ini Dimas berprofesi sebagai kurator musik.
Beberapa waktu yang
lalu, Dimas dan istrinya, Nastasha Abigail, berlibur ke Australia dalam rangka
menemani Oma mereka (87 tahun) yang baru ditinggal meninggal oleh Sang Opa
Januari lalu. Di sela-sela itu, Dimas dan Abigail sempat mampir ke Melbourne
untuk menyaksikan pertunjukan musik di sudut terpencil, Yarra.
Mengapa Dimas lebih
menikmati pertunjukan musik yang ditontonnya di Melbourne ketimbang di Sydney?
Berikut ceritanya…
Halo, Dim, main ke mana
aja di Australia?
Ada
beberapa kegiatan di Australia yang dilakukan bersama oma dan anggota keluarga
lainnya, seperti pergi ke museum, taman dan makan bersama. Selain itu ada juga
kegiatan saya dan istri, Abigail, yang kami lakukan sendiri tanpa Oma, seperti
pergi ke weekend market, toko buku, dan toko rekaman. Lalu selama di Australia
ini, saya memulai kegiatan baru yang sepertinya seru kalau menjadi agenda wajib
kalau pergi ke negara lain, yakni menonton pertunjukkan band lokal.
Kamu nonton band lokal di mana aja?
Dua
minggu di Australia saya menonton dua kali pertunjukkan musik, pertama di
Sydney dan kedua di Melbourne.
Gimana karakter musik di kedua kota itu?
Karakter
musik tiap kota bisa jadi berbeda. Tapi karena selama ini saya tidak begitu
menyimak perkembangan kancah musik di Sydney maupun Melbourne, saya belum bisa
mengambil kesimpulan karakter musik yang seperti apa yang ada di Sydney atau di
Melbourne.
Karena edisi ini settingnya Melbourne, menurut kamu,
Melbourne ini kota yang kayak apa?
Melbourne
menurut saya kotanya lebih 'nyeni' dan bisa dibilang sebagai trendsetter untuk
kota lain di Australia dan mungkin juga di dunia. Salah satu contohnya trend
speciality coffee yang sepertinya dimulai di Melbourne lalu melanda ke berbagai
coffee roaster dunia, termasuk Indonesia.
Karakter Melbourne yang lebih ‘nyeni’ ini kira-kira punya
pengaruh apa sama musik yang kamu tonton di sana?
Mungkin lebih berani bereksperimen dibandingkan musik-musik di kota lainnya di
Australia.
dok. Dimas Ario |
Cerita, dong, tentang pengalaman kamu nonton band lokal di
Melbourne…
Pertunjukkan
musik yang saya datangi di Melbourne terletak di sebuah sudut terpencil di
Yarra Hotel yang terletak di kawasan Abbotsford yang termasuk wilayah daerah
Fitzroy yang dikenal sebagai salah satu pusat hipster. Ruang pertunjukkannya
juga kecil dan panas. Jadi setiap jeda antar band, saya dan Abigail ke luar
ruangan dulu.
Wah…panas? Penuh, gitu, ya, yang nonton?
Pertunjukkan
sendiri mungkin hanya dihadiri kurang dari 50 orang. Ada empat band yang tampil
dan tiket masuknya seharga 10 dollar. Band-bandnya sendiri sepertinya band-band
baru semua yang belum punya rilisan. Paling mentok baru rilis single saja. Dan
mereka sepertinya juga jarang manggung.
dok. Dimas Ario |
Taunya dari mana?
Dilihat
dari kakunya permainan mereka. Tapi walau begitu tetap menarik sih. Karena
keluguan dan kekakuan itu malah membuat musik mereka menjadi lebih
hangat.
Kebetulan
musik yang saya tonton di Melbourne adalah musik indiepop yang saya sukai juga.
Jadi jika dibandingkan dengan yang di Sydney, saya lebih menyukai band-band
yang saya tonton di Melbourne.
dok. Dimas Ario |
Kalau dibandingkan dengan Indonesia, bagaimana musik dan
band di Melbourne?
Kalau
dibandingkan dengan Indonesia, band-band Indonesia yang levelnya sama dengan
band-band yang saya tonton di Melbourne, bisa saya katakan secara skill dan
musik jauh lebih bagus. Karena memang rata-rata orang Indonesia itu lebih
familar dengan musik dari kecil. Jadi secara skill pasti lebih mumpuni.
Apa kota di Indonesia yang paling mirip dengan Melbourne?
Kota
di Indonesia yang mirip Melbourne mungkin Bandung atau Jogja. Karena kotanya
yang lebih kecil dan perkembangan subkulturnya yang kuat.
Ok. Terakhir. Karena edisi ini temanya “sub”, apa yang
muncul di kepala kamu waktu denger kata “sub”?
Kalau mendengar kata Sub selain
langsung teringat dengan merk sandwich favorit yang sudah tidak ada lagi di
Indonesia juga langsung teringat kota Surabaya. Walaupun Sub artinya kurang
lebih bagian yang lebih kecil atau bagian lain yang terikat.
Sip… segitu dulu, Dimas. Makasih banyak, ya, salam buat
Abigail..
Terima
kasih, Dea…
Mengenai profesinya sebagai kurator musik, Dimas pernah
berkata, “Kalau kita berkarya untuk konsumsi
personal, kita harus bisa membuat musik-musik pilihan kita menjadi sebuah
pengalaman emosional yang berkesan bagi yang mendengarkannya." Agenda wajib jalan-jalan menonton musik ini, pasti besar pengaruhnya. Pengalaman yang dikumpulkan Dimas
menentukan apa yang akhirnya ia hasilkan di pusat kegiatannya.
Akhir kita, silakan
mengunjungi Dimas di http://madahbakti.blogspot.co.id/.
Sundea
Komentar