Pada suatu malam Jumat, angkot beramai-ramai mengadakan pemogokan.
Saya lantas memutuskan untuk tinggal di rumah saja. Meski taksi dan ojek
berbasis online sudah menjamur, saya masih menjadi penumpang
angkot yang setia. Bagi saya, transportasi umum yang satu itu adalah
kotak kecil berisi semesta.
Saya suka naik angkot sendirian sambil mengamati orang-orang yang ada
di sekitar, menyimak obrolan para penumpang angkot yang lucu-lucu,
bahkan menebak-nebak apa yang ada di pikiran para penumpang angkot
ketika mereka diam saja.
Dengan angkot, saya diingatkan untuk tidak egois. Saya harus mengatur
posisi supaya penumpang lain punya ruang untuk duduk dan keluar-masuk.
Saya juga selalu berbagi tujuan dengan banyak orang. Lewat
obrolan-obrolan yang kerap terjadi begitu saja dengan supir angkot atau
penumpang lain, saya pun belajar mendengarkan dan berempati. Sebetulnya
saya merasa dibuat kaya oleh kendaraan yang satu ini.
Tapi angkot sering menjadikan dirinya sendiri antagonis. Mereka kerap
bersikap semena-mena di jalan, korupsi ongkos dengan memberikan
kembalian yang kurang, dan yang paling top ngetem di mana-mana.
Demonstrasi yang mereka lakukan di Bandung justru membunuh citra
mereka sendiri. Ketika mereka mogok, kemacetan malah berkurang. Dengan
segera angkot dituduh sebagai biang kemacetan selama ini. Sikap kasar
para demonstran pada mobil-mobil yang diduga taksi berbasis online pun segera viral. Akibatnya masyarakat semakin malas ‘menguntungkan’ angkot.
“Padahal kalau di-manage angkot bisa jadi transportasi umum yang ideal, lho,” kata suami saya ketika kami membahas kelakuan angkot hari itu.
“Ideal gimana?” tanya saya.
“Angkot trayeknya siap. Jumlahnya banyak. Soal aman dan nyaman,
harusnya angkot lebih aman dan nyaman daripada motor. Tapi naik angkot
nggak bisa cepat.”
“Iya, terutama karena ngetemnya seabad.”
“Nah… Itu dia.”
Dalam kegiatan menarik angkot, bisa dibilang kejar setoran adalah goal sang pengemudi. Ngetem merupakan jalan menuju ke sana. Itu sebabnya mereka rela berlama-lama menunggu di pinggir jalan, lantas memberi sumbangsih yang cukup berarti pada kekusutan lalu lintas di Bandung.
Padahal, belum tentu ngetem lebih efektif menjaring penumpang.
Sebagai pengguna angkot setia, saya dan beberapa teman pengangkot
lainnya cenderung memilih angkot yang tidak ngetem. Kami bahkan rela
berjalan agak jauh sedikit untuk mencegat angkot yang tidak ngetem.
Jadi jika dihitung-hitung lagi, jangan-jangan angkot yang lebih rajin
bolak-balik mendapat penghasilan lebih banyak ketimbang angkot yang
menghabiskan waktu berjam-jam untuk ngetem.
Tapi sopir tidak merasa aman jika menggelinding bersama angkot yang lengang. Akhirnya ngetem menjadi trade mark kendaraan
umum tersebut. Sopir-sopir angkot mengejar setoran, tapi tidak punya
target waktu yang mengikat. Para penumpang sebaliknya. Itu sebabnya
pengguna kendaraan umum harus mencari alternatif angkutan lain yang
lebih bisa diandalkan. Misalnya angkutan berbasis aplikasi online.
Jika kebiasaan ngetem ini ditertibkan, mungkin angkot bisa kembali
dilirik. Caranya? Bagaimana dengan logika terbalik? Jika jalur setoran
yang urutannya sopir-juragan-pemerintah dibalik menjadi
pemerintah-juragan-sopir?
Ketika masih kuliah di Jatinangor, saya rutin membeli sebundel tiket
Damri. Setiap ber-Damri ke Jatinangor, saya menyobek dua lembar tiket
dari bundelan itu untuk pengganti ongkos tunai.
Saya pikir seru juga jika pemerintah menerbitkan tiket semacam ini
untuk naik angkot. Nantinya pemerintahlah yang akan menyetorkan sejumlah
uang kepada juragan, lalu si juragan menggaji sopir angkot sesuai
dengan angka yang sudah ditetapkan. Setoran bukan lagi urusan sopir,
tapi target ketibaan angkot di setiap pool boleh dihitung.
Apakah sistem ini tidak merugikan? Menurut hemat saya sih, tidak.
Tanpa ngetem frekuensi bolak-balik angkot jadi lebih bisa diprediksi.
Ongkos angkot pun menjadi pasti dengan adanya tiket. Tak akan ada lagi
cerita korupsi kembalian. Bagi orang-orang yang menempuh rute rutin,
tiket terasa nyaman dan praktis. Kenapa? Karena penumpang tak perlu
sibuk menyiapkan uang kecil setiap hari.
Saya yakin banyak orang yang menempuh rute rutin setiap harinya,
terutama pegawai dan anak sekolah. Jika angkot mudah diakses dan bisa
diandalkan, kendaraan umum ini pasti menjadi pilihan. Apalagi ongkos
angkot relatif murah.
Bahkan bukannya tidak mungkin orang-orang yang selama ini menyetir
mobil sendiri akhirnya menjadi pengguna angkot. Kenapa? Karena menyetir
itu melelahkan, apalagi kalau macet. Bensin pun tidak murah. Belakangan
di Jakarta cukup banyak teman saya yang memilih naik Trans Jakarta ke
kantor karena dua alasan itu.
Nah… Jika ada lebih banyak orang yang memilih naik angkot, otomatis
penghasilan bisnis angkot lebih besar daripada sekarang ini. Sopir dapat
digaji dengan layak. Mungkin jika tidak risau memikirkan setoran,
mereka bisa bersikap lebih baik di jalan. Sementara itu juragan tetap
mendapat setoran yang menyenangkan per angkotnya. Pemerintah pun
diuntungkan.
Di sisi lain, kemacetan diharapkan berkurang. Dan, manusia punya
kesempatan berinteraksi dengan manusia-manusia lain secara dekat setiap
hari. Diingatkan untuk tidak egois, berbagi tempat duduk, berbagi ruang
di kotak kecil berisi semesta, berbagi pengalaman, dan berbagi tujuan.
Tulisan ini sekadar usul. Tapi kalau mau diberlakukan serius, saran
saya sebaiknya dicoba dengan satu trayek angkot dulu. Boleh dipilih mana
jalur yang paling strategis. Apabila dirasa sudah siap, baru diterapkan
pada semua angkot di Bandung.
Kalau sistem yang saya ceritakan ini ternyata berjalan baik, mungkin inilah soundtrack
yang akan dinyanyikan para sopir angkot: “Sayonara, Sayonara, sampai
berjumpa pula. Buat apa ngetem, buat apa ngetem, ngetem itu tak ada
gunanya…”
Hei angkot… Menyerang angkutan lain seperti sumbu yang membakar diri
kemudian habis sendiri. Padahal, kalian bisa bersaing sehat dan punya
modal untuk bersinar sebagai diri kalian sendiri.
Nggak percaya? Coba deh…
Sundea
Dimuat di Voxpop.id edisi 13 Maret 2017
Komentar