(...)

Di dalam kantung besarnya, ia menyimpan apa saja. Botol bekas. Air mineral baru. Duku. Dan entah apa lagi. 



Pada suatu sore saya melihatnya duduk sendirian di depan minimarket langganan saya. Ia mengeluarkan beberapa butir duku, mencucinya bersih-bersih, mengupasnya dengan telaten, kemudian sengaja merapat ke tempat sampah untuk membuang kulit dan biji buah di sana. Hal kecil, namun saya mengingatnya. Sebab saya sadar “membuang sampah pada tempatnya” adalah etika sederhana yang sering luput diperhatikan.

Di waktu yang lain saya mendapatinya mengambil catatan dan bolpoin dari dalam kantung besarnya. Ia duduk bersandar di pilar kemudian menulis. Rasa ingin tahu membuat saya spontan menghampirinya.


“Lagi nulis apa, Dek?”
Gadis kecil itu buru-buru menyimpan kembali catatannya. Ia membalas sapaan saya dengan tatapan tidak nyaman. Saya pun meminta maaf dan pamit. Tapi saya sempat sekilas melihat tulisannya yang berbait-bait seperti puisi.

Sejak saat itu saya tak pernah lagi menyapa gadis kecil itu. Saya hanya mengamatinya diam-diam dari balik jendela minimarket langganan saya. Ia sering sendiri. Tapi saya tahu beberapa temannya. Saya mencermati kebiasaan-kebiasaannya. Ketekunannya mencarikan kutu di kepala adiknya. Membersihkan kuah bakso yang tumpah di lantai. Siapa saja yang sering berbagi makanan sekaligus menjahilinya. Dan menduga-duga apa saja yang tersimpan di dalam kantungnya.





Ia adalah gadis kecil yang penuh rahasia. Entah apa saja yang ia simpan dalam diamnya. Kantung besarnya tidak transparan. Ia selalu menjaganya erat-erat agar isinya tidak tumpah…

Sundea

Komentar