Aku Zine-ta Kepadamu

-Kineruku, 20 Agustus 2016-

TALKSHOW: “Geliat Media Alternatif Di Tengah Era Konvergensi Media”



“Jadi … zine itu sebuah opsi, atau oposisi?” cetus Pramilla Deva, penggiat zine dan media alternatif yang menjadi pembicara pada talkshow sore itu.

“Bisa opsi, bisa oposisi, tapi semanangat perlawanannya tetap perlu ada,” tanggap Adi Marsiella, ketua Aliansi Juranlis Independen yang juga menjadi pembicara bersama Milla dan Ibu Santi Indra Astuti, akademisi dan pemerhati media alternatif.

Judul talkshow tersebut berat sekali. Kendati begitu, Idhar Rosmadiselaku moderator, mampu membangun suasana menjadi hangat dan cerah seperti cuaca di Kineruku sore itu. Talkshow tersebut merupakan pengantar untuk keriaan Bandung Zine Fest yang akan digelar pada tanggal 27 Agustus 2016 mendatang, di Spasial, Gudang Selatan. Di sana, zine akan merayakan diri dan dirayakan bersama-sama.

Zine hadir ketika ada kebutuhan ekspresi dan informasi yang tidak dapat dipenuhi oleh media mainstream. Ketika ada isu besar yang memegang kendali dan dibangun berdasarkan banyak kepentingan, zine hadir dengan kemerdekaannya. Ia adalah media yang menjaga keseimbangan dari luar sistem.


Lalu apa kabar zine di era konvergensi media? Ketika semua orang dapat menjadi produsen maupun konsumen informasi lewat apa saja? Ketika yang personal dan yang publik, arus mainstream dan arus alternatif, pasar dan bukan pasar, seperti dapat saling menyebrangi, nyaris tanpa jembatan? Masih sanggupkah zine bergerak tanpa menghamba pada apa-apa? Seperti apa wajah zine saat ini?

“Apakah kita melihat zine sebagai produk atau proses pergulatan kultural?” Ibu Santi mengajukan pertanyaan yang agak-agak retoris. Menurut beliau, jika kita melihat zine sebagai suatu proses, bukan produk, ia akan terus hadir dalam bentuk apa saja. “Yang paling penting semangat mengekspresikannya,” tambah Adi.

Saya lalu teringat pada zine-zine-an online saya sendiri. Hanya teringat, tidak berusaha terlalu keras untuk mendefinisikannya. Usia kronosnya sudah hampir tujuh tahun, namun entah usia kairosnya.

Di kaki kursi, selembar piring kertas yang berkilau menegadah tanpa kesombongan. Ia tak segamblang cermin, namun kasihnya pada hidup dan peristiwa membuatnya mencoba merefleksikan segalanya. 



Tanpa pamrih.

Sundea

Sampai bertemu di Bandung Zine Fest 


Komentar