Ending-si 4: Akhir Dari Segalanya

Tanya dan Anak Beruang duduk di pinggir sungai yang mengalir. Tanya bersidekap menatap aliran sungai, sementara Anak Beruang mengais-ngais tanah dengan ranting. Keduanya punya pikiran yang sama. Ke mana lagi mereka harus mencari Jawab? Ini pertanyaan sungguhan. Bukan pertanyaan retoris.

Tiba-tiba Awan hitam menggulung cahaya matahari. Langit menjadi gelap. Angin mulai bertiup kencang dan pucuk-pucuk daun bergoyang-goyang gelisah. Petir bergemuruh. Anak Beruang mencolek Tanya dengan ranting yang sedang digenggamnya.

“Mau hujan,” kabar Anak Beruang.
“Lalu?” 



Dan hujan turun. Langsung deras. Anak Beruang kembali menarik tangan Tanya dan membawanya berlari mencari tempat berteduh. Akhirnya mereka menemukan sebatang pohon yang besar, rimbun, dan kokoh sekali.

“Huh! Hujan lagi! Kita belum meneukan Jawab! Menangkap jejaknya pun belum,” gerutu Tanya ketika mereka sudah duduk-duduk di bawa pohon.
“Kan kita tidak harus menemukannya. Yang penting kita mencari,” tanggap Anak Beruang.

Tanya lalu tengadah menatap pohon yang menaunginya. Keningnya berkerut sejenak. “Anak Beruang, pohon yang ini lebih tinggi, nggak dibanding pohon yang tadi?” Tanya kemudian bertanya.

“Hmmm. Kayaknya … kayaknya … nggak tau.”
Tanya mendelik pada Anak Beruang karena tanggapannya yang tidak jelas itu.

Akhirnya Tanya berdiri. Ia lalu berseru sekuat-kuatnya, “HEIII…POHON … Apakah kamu pohon tertinggiiii…?!!!”
Sebelum sampai kepada pucuk, suara Tanya sudah habis ditelan suara hujan. Tetapi Tanya tidak putus asa. Ia terus berusaha, terus berseru-seru, sampai suaranya hampir habis. Anak Beruang hanya duduk mengamati.

“Kamu kok tidak membantu, sih?” protes Tanya dengan suara serak.  
“Aku tidak suka teriak-teriak,” sahut Anak Beruang seadanya.



Tanya tampak agak kesal. Tapi karena sudah tak sanggup berteriak-teriak lagi, ia kembali duduk di bawah pohon sambil menunggu hujan reda. Ia melepaskan topi kaptennya yang basah, berusaha mengeringkannya supaya jangan sampai sobek. Sementara topi kapten Anak Beruang sudah basah dan compang-camping tersangkut ranting. Anak Beruang sendiri sudah lupa kalau ia memakai topi.

Hujan lalu berhenti. Awan kembali melepaskan matahari yang digulungnya kemudian melayang-layang di atas Anak Beruang dan Tanya.  Awan yang tebal dan basah lalu mengibas-ngibaskan diri seperti anjing yang  sedang mengeringkan diri. Beberapa sisa tetesannya terciprat pada Tanya dan Anak Beruang.

“Aduh!” Tanya menyeka hidungnya yang basah.
“Oh, maaf…” Awan sadar. Ia lalu bergerak turun. Posisinya jadi agak dekat dengan Anak Beruang dan Tanya.
“Hai Awan,” sapa Anak Beruang.
“Hai,” balas Awan.
“Tanya, kita bisa mengobrol dengan Awan tanpa harus menemukan pohon tertinggi atau Jawab,” sorak Anak Beruang girang.
Tanya mendadak sumringah. Kejengkelannya sirna. “Oh, iya, ya…”
“Buat apa kalian mencari Jawab?” tanya Awan.

Tanya kemudian bercerita mengenai kucing yang ditolongnya. Mengenai pohon tertinggi. Dan mengenai Jawab yang katanya tahu di mana letak pohon tertinggi itu. Mendengar paparan Tanya, Awan malah terkekeh.

“Apa yang lucu?” Tanya mengerutkan keningnya.
“Kalian terlalu sibuk mencari Jawab. Padahal Jawab begitu dekat dengan kalian, kalian berdua berpijak di atas Jawab.”
“Maksudnya?” Tanya bertanya lagi.
Sementara itu Anak Beruang mengamat-amati tanah yang dipijaknya mencari Jawab.
"Maksudku ...," lanjut Awan sambil bergerak menjauh, “Kalian berpijak di tanah Jawabarat … hahahaha…” setelah itu Awan melayang-layang lagi, pergi meninggalkan kedua anak yang terbengong-bengong itu.

“Jadi? Gimana sih? Aku kok pusing?” Tanya menggaruk-garuk kepalanya sendiri.
Anak Beruang melompat-lompat di atas Jawabarat yang dipijaknya, “Hore-hore-hore! Kita ternyata menemukan Jawab!”

Lalu, masih perlukah kedua anak ini mencari pohon tertinggi?
Ke mana kucing yang diselamatkan oleh Tanya?
Apakah Awan sudah pernah bertemu dan mengobrol dengan kucing itu? 
Apakah ini semua pertanyaan-pertanyaan retoris?

Ketika Anak Beruang dan Tanya lupa mencari dan memutuskan untuk bermain saja, pertanyaan-pertanyaan itu bertiup tanpa arah …



Sundea

Kesel nggak sama endingnya? Kesel ya? Mohon maaf lahir batin kalau gitu. Udah mau bulan Ramadhan, jadi ada alesan untuk minta maab karena segala kekeyosan yang kami buat sebulan ini … hihihi…

Artwork dibuat oleh ViandityaDewanta. Tunggu, ya, bakal ada ngobrol-ngobrol sama Vianditya Dewanta di salamatahari biar kalian kenal siyapah sosok di balik gambar-gambar keren dan tokoh Tanya sepanjang bulan ini…

Komentar