Setelah angin pergi, Anak Beruang dan
Tanya berdiri berhadap-hadapan. Keduanya saling memindai. Anak Beruang besar
dan berbulu, sementara Tanya mungil dan berkulit licin. Mata Anak Beruang besar
dan lebar, sementara mata Tanya sipit dan kecil. Tapi mereka berdua mengenakan
topi perahu kertas yang sama. Mungkin karena kepala mereka seperti lautan
pikiran ajaib, perahu kertas itu seperti berlayar di sana.
“Sebelum kamu bertanya, aku beri
tahu, ya. Namaku Tanya. Dan sebelum kamu bertanya lagi, nama depanku bukan
Tanda. Aku sedang mencari Jawab,” cetus Tanya tiba-tiba.
“Jadi Tanda itu nama depan Jawab?”
tanya Anak Beruang sambil menggaruk-garuk perutnya yang gendut.
Tanya mengerutkan kening, ia tidak
tahu Anak Beruang bercanda atau serius.
Anak Beruang sering sekali bertanya
tentang ini dan itu. Kadang tanya-tanya itu mengantarnya pada jawab, kadang
juga tidak. Tapi Anak Beruang selalu senang bertanya, karena perjalanan mencari
jawab selalu menarik untuk ditempuh. Maka tahu-tahu matanya bersinar cerlang.
“Eh, Tanya, kalau kita cari, apakah
Jawabnya harus ketemu?” tanya Anak Beruang dengan suara riang.
“Ummmh …,” Tanya jadi bertanya-tanya
sendiri. Apa, sih, sebetulnya maksud Anak Beruang ini?
Anak Beruang meraih tangan Tanya. Meski tangan Anak Beruang lebih besar dan kuat daripada Tanya, genggamannya hangat. Di sisi Anak Beruang, Tanya merasa ringan seperti kertas. Karena langkah Anak Beruang lebar-lebar dan sulit diikuti, Tanya membalas genggaman Anak Beruang seerat-seratnya. Ia tak ingin lepas dan tertiup entah ke mana di hutan yang asing itu.
Kalau tak harus
ditemukan, mengapa Anak Beruang justru semangat sekali mencari Jawab?
Tanya tidak tahu.
Lalu ke mana Anak
Beruang akan membawa Tanya?
Tanya juga tidak tahu.
Hei! Tunggu dulu! “Tidak Tahu”! Sepertinya
Tanya baru saja menemukan Jawab! Tapi … apa iya…?
Entah apa yang
terjadi, pepohonan memendar, saling menjauhi satu sama lain. Semua kemudian tampak samar-samar…
Sundea
Artwork oleh Vianditya Dewanta.
Komentar