Namanya Pak Eko
Endarmoko. Sudah sekitar tiga puluh tahun beliau membaktikan diri untuk dunia Bahasa
Indonesia. Pak Eko adalah penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) yang hingga saat ini masih
terus direvisinya lagi dan lagi. Selain itu, Bapak yang sempat aktif di
Salihara ini pun kerap menulis artikel-artikel bahasa di berbagai media, antara
lain Tempo dan Kompas.
Bersama alumnus Sastra
Universitas Indonesia ini, di www.salamatahari.com
edisi 175 kita mengobrol mengenai bahasa
Indonesia dan TBI.
TBI adalah buku yang menyajikan sebanyak
mungkin kata, kelompok kata, serta sinonim, atau padanan kata dalam bahasa
Indonesia. Tesaurus ini sangat membantu, terutama dalam menulis.
Sekalian – untuk menjawab
pertanyaan saya sendiri di rubrik “inti matahari” edisi ini – saya bertanya
mengenai arti kata “riuh rendah” kepada Pak Eko. Mengapa “rendah”?
Jawaban Pak Eko menjadi
penutup di edisi “Riuh Rendah” bulan ini …
Pak Eko, sekarang Pak
Eko kegiatannya apakah?
Setelah nonaktif di Salihara jadi punya lebih banyak waktu untuk fokus pada
kerja merevisi TBI,
selain membaca dan
menulis. Sesekali bertemu dan ngobrol, serius atau sekadar ngalor-ngidul,
dengan kerabat dan teman-teman, baik lewat perjumpaan langsung maupun lewat
beberapa grup WA. Yang terakhir itu sedap, karena memungkinkan perjumpaan
segera (dan bisa sekaligus dengan banyak kawan) dengan cara gampang.
Hooo…
sebelumnya aktif di mana aja, Pak?
Saya bekerja sebagai wartawan di majalah perbukuan Optimis (1984-1985) sebelum ikut membidani dan kemudian menjabat
redaktur pelaksana Berita Buku terbitan
Ikapi Pusat (1987-1989). Pernah pula bekerja sebagai penyunting—yang masih saya
lakoni sampai sekarang—di penerbit
Pustaka Utama Grafiti (1989-1997). Sejak pertengahan 1997 saya bergabung dengan Komunitas Utan Kayu,
yang kemudian menjelma Komunitas Salihara pada 2008, hingga nonaktif terhitung
sejak 2013. Menulis esai dan kritik kebahasaan dan sastra di pelbagai media
cetak, seperti Basis, Horison, Kalam,
Kompas, Tempo, Berita Nasional, dan
Suara Karya.
Meriah
juga kegiatannya, ya, Pak. Dari antara sekian banyak bidang ilmu, kenapa Bapak
tertariknya sama bahasa?
Barangkali awalnya adalah semacam kebetulan belaka. Tidak lama setelah
duduk di bangku kuliah, saya mulai suka menulis. Di tengah kesukaan membaca dan
menulis pada masa-masa itu, sering saya berjumpa dengan kata-kata yang boleh
dibilang menggelitik, entah karena baru tahu dan sebab itu tak saya mengerti
artinya, atau unik, rada ganjil, lucu, dan semacamnya. Tiap kata yang saya
temukan itu saya catat ke sehelai potongan kertas.
Ok. Jadi ketertarikan itu juga, ya, yang bikin Bapak terdorong
untuk bikin TBI. Mau ada edisi
revisinya, ya, Pak, katanya?
Iya. Tidak
pernah ada dalam sejarah, sebuah kamus dapat selesai dalam sekali pengerjaan. Edisi revisinya judulnya Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua.
Sejak kapan mulai bikin edisi revisi TBI?
Juni 2008. Lebih dari
setahun setelah peluncuran TBI yang
pertama di Utan Kayu. Di akhir
acara peluncuran TBI pada Januari
2007 di Teater Utan Kayu, Jakarta, kepada saya Prof. Dr. Sapardi Joko Damono memberi saran
pendek, bahwa sebaiknya saya melibatkan teman-teman linguis bila kelak terpikir
mengerjakan edisi revisi. Sebuah ide yang sangat jitu dan mencerahkan. Pada tahun 2008, stroke menyerang dan melumpuhkan sebelah kiri tubuh saya. Namun,
bukan itu yang pertama-tama mengingatkan saya akan saran Pak Sapardi. Mengira-ngira
segi apa saja yang memerlukan perbaikan, saya agak sangsi sanggup mengerjakan
semua itu sendiri lagi seperti sewaktu menyusun edisi pertama, bahkan kalaupun stroke tak mampir.
Terus siapa saja yang terlibat di edisi revisi TBI ini?
Gerombolan Tesamoko … hahaha. Adalah Prof. Dr. Multamia Lauder yang
mengusulkan sebutan Gerombolan Tesamoko. Ada pula Prof. Dr. Amin Sweeney, dan Dr. Felicia Nuradi Utorodewo. Juga ada Stephanus Erman Bala yang mengusulkan nama “Tesamoko” (menurut Steve,
Tesamoko adalah akronim dari Tesaurus Eko Endarmoko), Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo, yang dengan kedua lengan
terbuka sangat lebar berkenan menerima permintaan saya supaya sudi membagi ilmu
dengan menjadi tempat kami bertanya. Ivan Lanin yang kemudian memilih fokus pada penanganan
teknologi yang mendukung kerja kami dan mengajak seorang temannya, Romi
Hardiyanto, yang bermukim di Bremen … dan banyak lagi. Banyak sekali.
Ih, seneng, ya, gotong royong gitu…
Iya. Nyatalah sudah, kepada banyak sekali pihak
saya berutang budi atas aneka bentuk sokongan, dalam kadar yang berbeda-beda,
demi penyempurnaan tesaurus bahasa Indonesia ini. Namun, mereka semua tentu saja tidak bertanggung jawab atas apa yang
barangkali keliru dalam buku ini. Tanggung jawab itu sepenuhnya berada di atas
pundak saya seorang.
Boleh kasih bocoran, nggak, hal-hal yang
direvisi di TBI sekarang ini?
Mengingat luas aspek yang perlu ditangani, perbaikan isi
dalam Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua saya batasi pada tiga hal pokok. Pertama, mengimbuhkan antonim
(lawan kata). Kedua, menambahkan sejumlah kata baru sesuai dengan kriteria yang
telah kami tetapkan. Terakhir, menertibkan korespondensi dengan sedapat mungkin
ketat melaksanakan asas resiprokal (kata yang saling berbalasan seperti pukul-memukul,
peluk-memeluk, berbantah-bantahan dan lain sebagainya).
Ada pula beberapa aspek revisi yang perlu saya utarakan. Pertama,
tentang bias gender. Saya tidak tahu
bagaimana, dan mengapa, kamus resmi bahasa Indonesia diam-diam merekam atau
melanggengkan budaya patriarki. Misalnya, "istri" diperikan sebagai
“orang belakang”, sedangkan "suami" disebut “junjungan”.
Kedua, tentang swarabakti.
Saya tergolong ke dalam mereka yang mempertanyakan mengapa sejumlah kata,
seperti "blantik" atau bludak", jadi tersisipi huruf /e/ atau
ada swarabakti di sana: "belantik", "beludak"? Tetapi,
mengapa bukan “pelastik”, “pelasma”, “kelasik”?
Ketiga, penjelasan
bukanlah kata. Saya juga terlambat menyadari betapa lumayan banyak
penjelasan, pemerian, alias deskripsi duduk di tesaurus ini sebagai lema
(entri), padahal sudah jelas ia bukanlah kata.
Apa
perasaan Bapak setelah TBI ini
terbit?
Terkejut. Kok bisa ya? Tapi, begitu
menerima nomor contoh saya temukan kekeliruan yang memalukan. Sejak itulah saya
mencoreti bagian-bagian yang keliru di sana – sampai kemudian terpikir
mengerjakannya lebih serius.
Pendapat Bapak tentang perkembangan Bahasa Indonesia saat
ini?
Baik-baik saja kok. Saya tidak masuk
golongan mereka yang risau pada bahasa alay atau bahasa serampangan, dan
semacamnya, yang suka dikira bakal “merusak” bahasa Indonesia. Saya sangat
percaya bahasa Indonesia kita punya aturan main sendiri yang relatif sudah ada
bentuknya. Semua corak atau ragam bahasa nonbaku tadi umumnya berumur pendek
dan dipakai oleh kalangan terbatas/tertentu. Tidak oleh semua penutur bahasa
Indonesia. Soalnya bagi saya adalah, khalayak penutur bahasa Indonesia perlu
terus-menerus disadarkan, diingatkan kembali tentang jargon berbahasa Indonesia
yang baik dan benar, dan kenapa jargon itu perlu.
Apa pendapat Bapak tentang isu
beberapa waktu yang lalu, tentang anak-anak zaman sekarang yang lebih sering
diakrabkan sama Bahasa Inggris ketimbang Bahasa Indonesia?
Inilah yang saya kira lebih patut
mendapat perhatian kita bersama. Saya tidak tahu kenapa para “polisi bahasa”
lebih suka menuding-nuding salah orang dalam berbahasa, tapi jarang atau malah
tak pernah menunjukkan kesadaran akan pentingnya membangun kebanggaan terhadap
bahasa sendiri, bahasa kebangsaan kita, bahasa Indonesia.
Terakhir, Pak. Karena edisi ini temanya “Riuh
Rendah”, saya pengen tanya … kenapa keramaian harus disebut “riuh rendah”? Dari
mana “rendah”-nya?
Duh, pertanyaan menarik yang tak gampang
jawabnya. Mungkin karena nada suaranya turun naik, tak beraturan. Tapi itulah
hebat moyang kita bikin ungkapan. Contoh lain: kalang kabut, sebatang kara . .
.
Kata ini ada,
Pak, di tesaurus Bapak?
Kata ini tentu saja ada dalam
tesaurus saya. Suka orang lupakan, tesaurus, termasuk susunan saya ini, tidak
menyertakan definisi. Maka lazimnya orang memakai buku referensi sekaligus
tesaurus dan kamus (yang memberi deskripsi).
Tanggal 23 Mei 2016 mendatang, Pak
Eko akan meluncurkan TBI edisi revisinya di Gedung Gramedia Kompas, Palmerah, Jakarta. Saat ini
beliau tengah dilanda kesibukan mempersiapkan peluncuran tersebut. Kendati
begitu, dengan baik hati Bapak ini masih menyempatkan diri menjawab
pertanyaan-pertanyaan hore dari www.salamatahari.com.
Setelah menuliskan artikel ini,
tiba-tiba di kepala saya melintas sebuah pertanyaan tak berguna. Jika ada kata “riuh
rendah” apakah antonimnya adalah “sepi tinggi”?
Sundea
foto dok. pribadi Pak Eko
Komentar