Pada suatu pagi, ketika saya sedang tidur-tiduran di atap
rumah, seekor burung antang raksasa berlalu di atas kepala saya. Bulunya merah
seperti api. Geraknya anggun namun jauh dari keraguan. Ia begitu besar. Jadi
alangkah terkejutnya saya ketika burung itu tiba-tiba berbalik arah, kemudian
menukik dan mendarat di sebelah saya.
“Eh … selamat pa … pagi,” sapa saya kepada burung yang lebih
besar daripada saya itu.
Sang Burung membalas sapaan saya dengan membungkuk membelakangi
saya. Ia mempersilakan saya duduk di atas punggungnya. Hati-hati saya naik ke
sana dan … HUP! Sebelum saya sempat mencari posisi duduk yang paling nyaman,
Sang Burung Antang sudah melesat lagi.
Burung Antang terbang sangat tinggi. Dari punggungnya, saya
dapat melihat alam raya yang terhampar luas sekali. Tanah berpetak-petak. Sungai
berkelok. Tradisi. Nyanyian serupa doa yang membumbung tinggi sekali bersama ...
asap! Ya, asap! Asap itu bertiup lirih seperti ingin memperingatkan sesuatu
Sadarkah kau skarang, apa yang kau hirup, apa yang kau raba,
sesuatu yang kekal. Kekal bagimu, di pikiranmu …
Pelan-pelan asap itu bergerak mengelilingi tubuh saya. Semakin
lama semakin tebal. Saya yang tadinya dapat “Melihat Segalanya” tak dapat
melihat apa-apa lagi. Saya terbatuk-batuk tak kuasa menghindar. Hingga akhirnya
asap itu luruh sendiri, menjelma debu, tertiup angin bersama doa-doa. Ketika
saya kembali dapat melihat segalanya … alangkah terkejutnya saya karena Sang
Burung Antang sudah tak ada. Saya sudah duduk di atas sebuah bola besi yang
dapat terbang. Pada permukaannya tertulis “Greek Mythology”.
“Greek Mythology” ini entah berisi apa. Tapi setiap ia
bergerak, timbul keriuhan seperti di arena bermain Timezone. Ia pun
menembakkan cahaya merah ke mana-mana, nyaris sembarangan. Saya melihat pohon
bertumbangan, kebakaran, sungai yang meluap, manusia yang bergerak kocar-kacir
seperti kawanan semut yang dibubarkan. Chaos!
Ketika kekacauan itu sudah mencapai puncaknya, bola besi yang
membawa saya melesat cepat. Meninggalkan kerusakan “Alam Raya” begitu saja
sambil bersalto. Saya terlempar. Dengan pasrah saya menutup mata saya sendiri.
Membiarkan gravitasi menghisap saya. Membiarkan angin menerpa wajah dan rambut
saya sebebas-bebasnya. Merasakan daun kering yang tak sengaja mampir ke kulit
saya. Menghirup debu dan asap. Membiarkan diri saya berada di antara sadar dan
tak.
Ketika saya membuka mata, langit sudah ungu tua. Suasana terasa
sendu. Di hadapan saya mengalir sungai. Tidak terlalu deras. Tetapi konstan.
Saya menyandarkan punggung saya di pohon besar yang masih
tersisa di sekitar sana. Merenungkan kembali petualangan singkat yang baru saja
saya lalui. Menghayati kasih sayang bumi yang membelai saya. Suara-suara alam
punya pesonanya sendiri dan sangat nyaman. Saya tahu saat itu saya berada jauh
sekali dari atap rumah saya. Tetapi, saat itu saya justru merasa … pulang.
Sejumput bagian dari “Alam Raya” yang saya lalui pasti
menitipkan pesan. Saya mencoba memahaminya. Dan meneruskannya kepadamu.
Mungkin “Alam Raya” ingin menyampaikan sendiri pesannya
kepadamu. Setelah kamu menerimanya, lalu …?
Dimulai dari perjalanan Rayhan ke
Kalimantan, hidup bersama penduduk setempat, berkenalan dengan budaya dan
kegelisahan yang tumbuh di sana, hingga akhirnya, Rayhan the Daydreamers
mengadaptasi seluruh pengalaman itu dalam album “Alam Raya”. Review-review-an
ini perlu dibaca sambil mendengarkan albumnya secara keseluruhan. Untuk tahu
lebih banyak mengenai Rayhan the Daydreamers dan “Alam Raya” silakan mampir ke
sini
Komentar