Kutak Pandura feat. Anak Beruang


Ini adalah cerita tentang kotak kecil yang suka menyanyi. Suaranya lincah, ringan, dan riang. Tetapi ia menolak disebut kotak musik apalagi dianggap penjelmaan band Kotak yang terkenal itu. Sekian lama ia tersimpan di sebuah istana besar berdinding tebal, rapat, dan terlindung dari dunia luar. 

Sampai pada suatu hari jendela istana terbuka. Angin menghisapnya, kemudian mendamparkan si kecil di hutan, ke telapak tangan Anak Beruang yang juga senang bernyanyi-nyanyi. 

“Hei! Halo, kotak kecil,” sapa Anak Beruang begitu benda itu sampai di tangannya.
“Aku bukan kotak. Aku adalah KUTAK. Nama lengkapku 'Kutak Sanggup Menyimpan Nada-nada Ini Sendirian’,” dendang Kutak.
“Oh, baiklah. Kutak,” ulang Anak Beruang. Ia mengamati Kutak yang cantik berkilau. Permukaannya bersalut emas cemerlang dan luasnya hanya setelapak tangan Anak Beruang.
“Ini pertama kalinya aku keluar dari istana. Kita jalan-jalan, yuk. Siapa nama kamu?” tanya Kutak.
“Aku Anak Beruang. Yuk …” sahut Anak Beruang bersemangat.

Bersama Kutak, Anak Beruang berjalan-jalan keliling hutan. Kutak terus bernyanyi-nyanyi. Nada-nada yang keluar dari perutnya berlompatan seperti ledakan penduduk, berhamburan ke mana-mana. Ada yang bersembunyi di antara bunga-bunga, menyusup di antara suara angin, burung-burung, menjadi bagian dari doa dan mantra semesta. Sambil menatang Kutak di telapak tangannya, sesekali Anak Beruang ikut bersenandung mengiringi. 


kutak pandura anakber



Tak terasa, senja mulai merayap turun.

“Kutak, aku harus pulang sekarang. Nanti aku dicari ibu,” kata Anak Beruang.
Kutak tidak langsung menyahut. Rupanya ia terpesona pada sendu lembayung yang merah-oranye-ungu. Nyanyiannya pun merambat lambat.
“Kutak, aku harus pulang sekarang,” ulang Anak Beruang, “kamu mau ikut ke rumah aku?”
“Aku di sini saja,” desir Kutak.
“Kamu … tidak takut ditinggal sendiri?” Anak Beruang memastikan.
Kutak tidak menyahut lagi. Nada-nadanya tertambat pada sinar matahari terbenam yang tajam-tajam seperti mahkota.
“Kalau begitu aku pulang, ya. Rumah aku tidak jauh dari sini. Kalau kamu mau mampir, tanya-tanya saja. Semua binatang di hutan ini tahu, kok, rumah keluarga beruang,” papar Anak Beruang sambil meletakkan Kutak persis menghadap matahari senja.

Nyanyian Kutak sudah tertambat erat sekali pada berkas sinar. Kata-kata Anak Beruang tak lagi terperhatikan. Akhirnya Anak Beruang pulang saja. Meninggalkan Kutak bersama matahari senja.

Sepeninggal Anak Beruang, matahari terbenam perlahan. Nada-nada Kutak yang tertambat di sana ikut terbawa diseret pergantian waktu. Kutak melepaskannya. Setelah Kutak membiarkan nada-nada itu pergi, ada ruang kosong di diri Kutak. Tetapi dalam kekosongan itu ia justru mendapat hadiah bintang-bintang ...

Awalnya bintang-bintang terasa asing bagi Kutak. Apalagi mereka sepertinya berada di tempat yang jauuuuh ... sekali dan tak terraih. Tetapi ternyata tidak butuh waktu lama untuk merasa dekat dengan bintang-bintang. Bias kerlipannya seperti lengan yang panjang dan saaaangat kurus, terjulur untuk menjabat Kutak.

"Ting ting tang ting ting"
"Tang ting tung ting cring"
"Tring ting tung cring tung ting"

Mereka berdentang-denting. Semakin lama semakin meriah, seperti ingin menceritakan sesuatu dengan bahasa mereka. Kutak senang mendengarnya meski ia tidak yakin sungguh mengerti artinya.
"Mengapa aku sayang pada kalian, ya?" tanya Kutak pada bintang-bintang.
"Cling," sahut sebutir bintang yang paling terang.

Hal yang tidak Kutak sadari, bintang-bintang itu adalah bibit dari nada-nadanya sendiri. Merekalah yang terbenam bersama matahari, kemudian dilempar ke angkasa seperti benih. Bagi Kutak tentu saja tak sulit menyayangi mereka. Sebab sesungguhnya bintang-bintang itu adalah bagian dari diri Kutak sendiri.

Malam semakin tua. Bintang-bintang memudar ditelan kabut. Suara jangkrik tajam menusuk-nusuk sunyi. Kutak sendiri merasa ringan dan kosong. Nada-nada yang tadinya membuncah seakan tak mungkin habis, akhirnya kering juga.

Meski limpahan nada dalam dirinya membuat Kutak gembira, kekosongan yang hampa mempunyai kenyamanannya sendiri. Sepi memberi Kutak ruang untuk beristirahat. Dan kehampaan mengajarkan Kutak untuk mengenali serta mengisi kembali.

Di ujung malam itu, fajar memberkas samar-samar. Dingin pelan-pelan berangkat pergi dijemput subuh.

Kutak mengingat semua yang dialaminya sepanjang hari itu. Angin. Anak Beruang. Burung-burung. Bunga-bunga. Senja. Bintang-bintang. Menyadari betapa banyak hal yang disembunyikan dinding istana dari dirinya. Mungkin istana hanya tidak ingin Kutak kehabisan nada-nadanya. Padahal, menghabiskan nadalah yang membuat Kutak paham arti utuh dan penuh.

Kutak menghela kehampaan dan menghirup semesta. Di sana, ia menemukan kembali nada-nadanya dalam bentuk yang berbeda.

Dan ternyata tuhan ada di sana. Dalam nafasnya. Rendah hati. Sederhana.

Sundea

Cerita Anak Beruang kali ini merupakan semi-kolaborasi antara Dea dan sang suami, Ikan Paus. Sistemnya, Dea membuat sepotong cerita, kemudian cerita itu direspon dengan komposisi orkestra karya Ikan Paus, dikembalikan ke Dea untuk potongan cerita selanjutnya, dan begitu seterusnya.

Hasilnya adalah cerita ini dan komposisi orkestra “Symphony no.1”ini:



Artwork oleh Katarina Ningrum. Ningrum adalah pemain viola (biola alto) di Laurentius Symphony Orchestra. “Aku gambar sambil terngiang-ngiang ‘Symphony no.1’. Terus aku terharu ketika Kutak tersentuh bintang-bintang,” kata Ningrum yang akan bermain solo di salah satu lagi pada konser nanti.
Katarina Ningrum adalah anak Bandung berjiwa Saturnus.
Penggemar pangan nabati yang suka kebersihan dan punya kegemaran khusus pada tapir dan kucing.
Saat ini menyuarakan benih-benih benaknya lewat Guyu, dengan karya-karya yang dapat dilihat di 
Instagram: @guyugembira.
Tulisan-tulisan rada panjangnya bisa diintip di citraramya.blogspot.com

Komentar