Hela


-Angkot Cicaheum Ledeng, Sabtu 22 Agustus 2015-

Tuhan yang esa duduk di kursi artis. Angin menyedotnya keluar angkot, namun selalu meniupnya masuk kembali. Ketika perutnya mengembung dan mengempis, saya tahu ia sedang bersenandung lirih. Telinga saya masih dapat mendengarnya. Meski dengan mengepung serapat-rapatnya, kebisingan jalan raya berusaha menelan suaranya.



Tuhan yang esa melayang-layang di seputar kursi artis. Setiap kali angin menyedotnya keluar angkot, saya percaya ia akan datang kembali. Saya selalu menunggu dengan iman. Meski kadang peristiwa-peristiwa yang sekedip berusaha mencuri keyakinan saya.

Tiba-tiba tuhan yang esa melompat turun dari kursi artis. Ia bersandar pada tiang, dan berhenti keluar-masuk angkot. Angin tak dapat menyedotnya, sehingga tak perlu juga meniupnya kembali. Ia masih menyanyi-nyanyi lirih. Tetapi kali itu saya tahu, nyanyiannya yang serupa ucapan penghiburan mempunyai arah.




Saya segera tahu untuk siapa tuhan turun dan menghadiahkan nyanyiannya. Ketika sekumpul kulit jeruk yang telah menyerpih menjadi pusat perhatian tuhan. 


Kulit jeruk tidak pernah memilih menjadi sampah. Tetapi ketika sudah menjelma sampah sekalipun, keharumannya masih memberkati seisi angkot tanpa berpamrih.

Ketika saya hendak turun dari angkot, tuhan yang esa masih duduk di sana bersama kulit-kulit jeruk. Saya memotret mereka, kemudian mohon pamit.


Pada perjalanan berangkot saya yang tak sampai lima belas menit, angin meniupkan cerita ini. Saya menyedotnya dan menjadikannya bagian dari seluruh nafas saya.


Sundea

Komentar