Hujan-hujanan di Bawah Atap
-Teater Tertutup Dago Tea House, 11 April 2015-
Konser Kita Sama-sama Suka Hujan
Hujan adalah elemen kesayangan kesusateraan. Ada kelirihan (atau kata Ananda Badudu kelembutan) dalam paket kehadirannya. Derainya bercerita banyak. Keharumannya yang khas – petrichor – serupa aroma therapy. Ketika hujan datang, langit menjadi dramatis sendu.
Bisa jadi kesenduan semacam itu pulalah yang disayangi enam musisi muda ini: Ananda Badudu dan Rara Sekar Larasati (Banda Neira), Febrian Mohammad (Layur), Gardika Gigih, serta Suta Suma Pangekshi dan Jeremia Kimoshabe (strings duo). Jarak Jakarta-Bandung-Bantul-Yogyakarta yang merentangi mereka, dijembatani oleh tajuk konser ini “Kita Sama-sama Suka Hujan” (KISSH).
Meski sama-sama suka hujan, keenam musisi ini berangkat dari kultur musik yang berbeda. Duo Banda Neira yang sama-sama lulusan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, bermusik secara intuitif. Kekuatan mereka bertumpu pada lirik. Beberapa di antara lagu mereka mengangkat tema kritik sosial. Layur yang kerap bermusik dengan program komputer fruity loops mengeksplorasi bunyi-bunyian di sekitarnya. Pada lagu “Langit dan Laut”, ia menghadirkan bebunyian laut yang direkam langsung dari dekat tempat tinggalnya. Sementara Gardika Gigih dan Strings Duo akrab dengan orkestrasi. Gigih sendiri sudah beberapa kali mengisi ilustrasi film. “Tenggelam”, salah satu komposisinya yang dimainkan dalam KISSH, adalah soundtrack dari film bertajuk “Rumah”.
Ketika menonton konser ini, saya merasakan kenyamanan sekaligus kecanggungan yang wagu di antara ketiga kelompok tersebut. Sebagai sesama penyayang hujan, mereka diikat oleh sentimentalitas yang serupa. Tetapi berbagi panggung justru mempertajam perbedaan mereka. Jika boleh diibaratkan, mereka seperti “hujan-hujan yang berbeda”. Banda Neira adalah hujan seada-adanya. Mereka dekat dengan keseharian; anak-anak yang berhujan-hujanan, orang-orang yang berteduh di bawah jembatan layang, atau pengendara motor yang berjas hujan. Layur adalah hujan dengan variasi suara petir yang sambar menyambar, berikut kejutan-kejutannya. Sementara Gardika Gigih dan Strings Duo adalah hujan yang turun rintik-rintik. Liris dan tidak gegabah. Seperti tiga saudara yang lama terpisah dan baru saja dipertemukan, mereka tampak masih sangat berhati-hati mencari bentuk relasi dan komunikasi. Menyaksikan mereka, membuat saya merasa seperti menonton sebentuk interaksi penuh tata krama di ruang tamu.
Keakraban baru terasa ketika mereka mempersembahkan lagu “Di Atas Kapal Kertas” sebagai encore. Lagu yang mereka bawakan sebagai “seru-seruan saja” itu justru terasa seru betulan. Dengan lepas, Banda Neira, Layur, Gardika Gigih, dan Strings Duo mengekspresikan diri mereka seada-adanya. Di sana jugalah karakter setiap mereka terasa hidup dan nyata, terutama ketika mereka diberi kesempatan untuk tampil jamming memainkan instrumen andalan mereka masing-masing. Gigih dengan piano, Suta dengan biola, Jeremia denga cello, Rara dengan xylophone, Layur dan Ananda dengan gitar. Kelincahan lagu itu mampu membuat musisi-musisi ini keluar dari kecanggungan mereka.
Tepuk tangan riuh penonton menghujani musisi-musisi kita yang sama-sama suka hujan itu. Layar ditutup. Cahaya oranye dari balik tirai berpendar, seakan menggambarkan terbitnya matahari setelah hujan berhenti.
Keriangan lagu “Di Atas Kapal Kertas” masih berlompatan samar-samar di kepala saya, menyimpulkan apa yang saya saksikan hari itu
Berangkat di atas kapal kertas
Menggantungkan haluan
Menambal menyulam, menghindari karam
Berangkat di atas kapal kertas
Bersandar ke layarnya
Di antara suka, di antar duka
Gadis kecil merangkai kapal,
Melipat jarak …
Hujan menghapus jejak jalan pulang. Tetapi, siapa yang akan pulang? Keenam musisi ini tampaknya ingin terus bertualang!
Sundea
Komentar