Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
Ketika membaca kembali puisi “Derai Derai Cemara” karya Chairil Anwar, saya tahu-tahu tertarik pada kata “derai” itu sendiri. Derai menjelaskan suara pucuk-pucuk cemara yang gugur ditiup angin, hujan yang menetes beramai-ramai, dan tawa yang lepas tidak terhenti. Bagi saya ada kesan liris dan renyah pada bunyi yang ditimbulkan kata ini. Maka, saya mencari tahu apa persisnya arti kata “derai”.
Ternyata “derai” berangkat dari bahasa Minangkabau yang berarti butir-butir. Sementara KBBI menjabarkannya dalam beberapa pengertian:
Nomina (kata benda) de.rai tiruan bunyi titik-titik air hujan yang jatuh di kaca dan sebagainya: derai gerimis mulai terdengar
Verba (kata kerja) ber.de.rai-de.rai
(1) berduyun-duyun (tidak beraturan): para demonstran derai sepanjang jalan;
(2) jatuh berguguran banyak-banyak (tentang daun-daunan dan sebagainya);
(3) berlanjutan atau berpanjangan tidak teratur
Di antara seluruh pengertian itu, saya menemukan seutas benang merah. Derai adalah segala hal yang serumpun dan berjumlah banyak. Mereka terhitung kecil-kecil dibandingkan semestanya, namun selalu membawa kekuatan atau keriuhan tertentu. Saya lantas memperhatikan segala hal yang berderai di sekitar saya dan mengamati butir-butir yang menyusunnya.
Di edisi ini www.salamatahari.com bercerita mengenai hujan yang berderai di panggung konser “Kita Sama-sama Suka Hujan”, #kresekadalahtuhan yang menyimpan sisa perayaan 60 tahun Konferensi Asia Afrika yang berderai, derai gula yang membuat sebilah wayang dapat berdiri gagah, karya-karya yang berderai di Catalyst Artshop dan Catalyst Artmarket, serta derai 27 Club yang dibahas Dea dalam pengantar zine foto Rizki Ramadhan: “Ada Harap di Balik Parah”.
Menulis artikel ini, membuat saya sadar sesuatu.
Kita selalu menjadi bagian dari derai. Begitu kecilnya, hingga perlu saling merangkai untuk berderai-derai …
Semoga kesadaran ini mengingatkan kita untuk senantiasa rendah hati.
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea
Komentar