Kisah di Bawah Bendera*

Angin membawa kelirisan yang tak pernah basi. Ia meniup kincir yang berjajar empat di depan sebuah rumah sederhana di bilangan jalan Gempol, Bandung. Keempat kincir itu berputar. Tidak serentak, namun mencipta harmoni.

Di sisi mereka, seorang bapak tengah asyik membuat kincir serupa. Jemarinya tak menjadi tremor dimakan kesenjaan usianya. Konsentrasinya pun tercurah penuh saat menekuni kerajinan tangan tersebut. 




''Setelah beberapa jenak mengamati, akhirnya saya memberanikan diri bertanya.

“Pak, selamat sore, boleh ngobrol nggak?”
Bapak itu sempat terkesiap. Namun ibu berkerudung yang berdiri di depan pintu rumah segera tanggap, “Oh, boleh, boleh,” sambut Si Ibu ramah sambil mempersilakan Om Em – sahabat saya – dan saya duduk di dekat Si Bapak.

Namanya Pak R. Gandasasmita. Usianya 85 tahun. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya menjadi cair dan bercerita banyak sekali tentang apa saja, terutama kecintaannya pada mengajar.

“Saya ini pensiunan Pendidikan Masyarakat. Pendidikan saya dulu di PTIG (Pendidikan Tinggi Ilmu Keguruan). Sesudah itu saya ikut KPKB (Kursus Pengantar Kewajiban Belajar); pagi-pagi mengajar, sore belajar. Waktu itu saya ditempatkan di Ciamis, di Jalan Cipto 9. Di sekolah itu semua ahli berkumpul. Dan saya satu-satunya yang menguasai bidang keterampilan,” cerita Pak Gandasasmita bangga.

Rupanya sejak anak-anak Pak R. Gandasasmita memang sudah dekat dengan keterampilan. Sejak kecil ia sudah terbiasa membatik payung. Di usianya yang ke-16, ia bekerja di sebuah pabrik sepatu handmade. “Sepatu-sepatu jaman dulu lebih kuat, sebab menjahitnya dengan teknik binnen line (dijahit di dalam),” jelas Pak Gandasasmita. 


Karena punya paman yang asisten wedana, kira-kira pada awal tahun 1950an, Pak R. Gandasasmita dikenai kewajiban mengajar. Ia memang harus dapat mengajar apa saja. Tetapi kecintaannya kepada keterampilan membuatnya memberi porsi lebih kepada bidang ini. Menjadi pengajar yang konsisten dan harus bersedia ditempatkan di mana saja pun, membuatnya lantas jatuh cinta kepada mengajar itu sendiri. Matanya berbinar ketika menceritakan kebahagiaannya berhadapan dengan para murid, dan meredup ketika menceritakan suatu episode, ketika ia tak boleh masuk ke kelas lantaran penyakit paru-paru yang menular. “Di sini tuh sedih sekali,” kata Pak Gandasismata sambil menunjuk dadanya pedih. 

Berbagai pengalaman sudah dijajaki Pak Gandasasmita. Mulai dari menjadi pengajar biasa, ditempatkan di daerah DI TII yang mencekam, menjadi kepala sekolah, menjadi penilik, sampai terakhir— sebelum pensiun di pertengahan tahun 90an – sempat menjadi dosen di sebuah kampus. 

“Saya tidak pernah pikir gaji. Saya pikirkan tugas saja. Lagipula gaji itu berangsur naik. Dulu sekali gaji saya Rp 835,00. Tetapi kan tidak selamanya segitu,” ungkap Pak Gandasasmita sambil melanjutkan kincir angin buatannya. 


“Terus kincir-kincir ini buat apa, Pak?” tanya saya sambil melirik empat jajar kincir yang tampak masih asyik bermain-main dengan angin, juga kincir belum rampung yang masih ada di tangan Pak Gandasasmita.
“Yah, daripada ngelamun. Saya juga mau kasih contoh ke orang-orang kalau barang-barang bekas itu bisa dimanfaatkan.”
Saya tersenyum. Meski sudah tidak resmi mengajar, di dalam diri Pak R.Gandasasmita, keinginan untuk terus berbagi ilmu tak dapat dibenamkan. Renjana.

Anak-anak kecil di seputar Gempol berlari-lari di depan rumah Pak Gandasasmita. Sesekali mereka mampir untuk bermain-main dengan kincir atau bertanya ini-itu kepada Pak Gandasasmita. Ada seorang bocah yang menawar kincir Pak Gandasasmita seribu rupiah. Pak Gandasasmita menepisnya, “Ini tidak dijual.”

Saya lantas teringat pada lagu “Di Bawah Bendera” yang dibawakan Deugalih and Folks.

Itu bendera mulai usang berdiam
Ia tak mengeluh, rindu dibelai angin

Syahdu

Sungai yang keruh lupa bening wajahnya
Ia tak mengeluh, dalam rahimnya ikan berteduh …

Senja itu, angin pun membelai kisah perjalanan Pak R. Gandasasmita yang mengukuh di jari-jari kincir.

Rindu. Syahdu.
Sundea
*dipinjam dari lirik lagu “Di Bawah Bendera” – Deugalih and Folks
Makasih, ya, Om Em, untuk random awesome-nya yang mencerahkan.

Komentar