Power

Perjalanan berangkot saya pada suatu siang dikejutkan oleh seorang anak yang nyaris terseret di bibir angkot. Ibu-ibu di sebelah saya memekik sambil dengan sigap menangkapnya. Angkot mengerem mendadak.

“Ati-ati, Jang!” sentak si supir angkot.

Anak laki-laki kecil itu setengah gemetar. Sepertinya ia pun tak kalah kaget.

Saya taksir, bocah itu usianya tak lebih dari lima tahun. Matanya bening mengiba, tapi kulitnya keruh. Sesaat kemudian menyusul masuk anak laki-laki yang sedikit lebih besar. Dengan kasar ia mendorong si kecil itu ke tengah angkot, lantas melotot memberi kode sambil menggenjreng ukulele. Si kecil segera mengerti. Meski lututnya masih lemas, ia berjalan menyusur tiap penumpang meminta sedekah. Setelah aksi si kecil selesai, si besar merampas uang yang ada di tangan si kecil. Mereka lalu melompat turun pada perhentian berikutnya. 


Saya merasa sangat terganggu oleh peristiwa beberapa menit itu. “Power” menjadi kata kunci yang berkedap-kedip di benak saya. Bisa jadi perbuatan si besar merepresentasikan kekuasaan yang lebih besar lagi. Di suatu tempat nanti, dengan cara yang kurang lebih sama, uang dari saku si besar akan dirampas oleh orang-orang yang lebih kuat lagi. Mereka yang punya power paling kuat akan mendapatkan segalanya.

Saya turun tak lama kemudian. Langkah memijak trotoar terasa berat, tetapi saya memutuskan untuk menghabiskan sisa jarak tempuh saya dengan berjalan kaki. Tiba-tiba sebuah motor naik ke atas trototar, persis di belakang saya. Pengemudinya mengklakson saya terus menerus.

“Misi, dong!” tet-tet-tet “Misi, Teh! Mau lewat!” tet-tet-tet.
Saya menoleh dengan kesal, “Kenapa nggak lewat bawah aja, sih? Ini kan jalan orang!”
“Rese’ banget sih!” dengan paksa pengendara motor itu meyeruak ke sebelah saya sambil marah-marah. Saya yang tidak punya power sekuat motor, terpaksa harus memberi jalan kalau tidak mau terserempet. Padahal saya tahu jalan yang diserobot pengendara motor itu adalah hak saya.

Di dalam suatu sistem, kata power lebih sering memberi kesan menyeramkan. Padahal power dapat memilih sisi. Menjadi lebih kuat seharusnya bukan sarana untuk menindas, tetapi kepercayaan untuk menjaga yang lebih lemah. Mereka yang punya power dapat mengendalikan sistem agar berjalan seimbang. Jika mau. Jika sadar untuk tidak mementingkan diri sendiri. Jika cukup cerdas untuk memahami makna “memelihara”.

Ketika menuliskan artikel ini, saya menoleh pada radio di sebelah saya. Tombol power di situ berfungsi menghidupkan sekaligus mematikan.

Sundea

Komentar