Kerah Hitam Oom Hari Agustono dan Ki Ageng Kindi

kindioom Pada suatu hari, salah seorang teman saya, Ki Ageng Kindi bercerita tentang ayahnya yang baru saja menyelesaikan novelnya. Kindi sedang mencarikan penerbit yang tepat untuk karya Sang Ayah. Istimewanya, ternyata Ayah Kindi, Oom Hari Agustono, merampungkan novelnya dalam keadaan buta karena glaukoma. “Dia ngomong, direkam, terus ceritanya ditranskrip sama temennya, Oom Uki,” jelas Kindi. 

Meski terus terang Dea tidak terlalu akrab dengan isu politik yang diangkat Oom Hari dalam novelnya, tiba-tiba saja Dea justru tertarik pada keteguhan Oom Hari. “Kin, elu gue wawancara ajalah, ya, tentang bokap lo,” cetus Dea di sela-sela obrolan. Kindi ternyata tidak keberatan. Dan inlah dia obrolan kami …



Kin, sebetulnya bokap lu tuh latar belakangnya apa?
Sepanjang pengetahuan gua tentang beliau, beliau menghabiskan banyak waktunya jadi wartawan tulis. Daftar media yang pernah dia masuki, beberapa gue masih hafal: Panji Masyarakat, Amanah, Kartini, Panasea, Detak, Investigasi. Di antara media tersebut bokap gua juga kadang nulis lepas untuk beberapa media kayak tabloid Mutiara (ini sudah gak ada, dulu yang jadi pemrednya sempet Pak Bondan) dan beberapa tabloid lain.

Sekarang udah nggak aktif jadi wartawan?
Sekarang, karena glaukoma, beliau jadi lebih aktif nonton TV dan dengar radio dibanding sebelumnya, karena konten beritanya masih bisa dikonsumsi oleh sisa indera yang ada. Selain itu gue juga selaku anak pertama gak mau “mengurangi” posisi beliau sebagai kepala keluarga, yang indikasinya gua pesen ke adek gua dan nyokap, kalau kita coba biarkan dia kalau mau tetep kontribusi sehari-hari kayak cuci piring, atau cuci baju karena emang di rumah jarang sekali pakai pembantu.

Wih, bokap lu masih biasa ngerjain segala macem sendiri …?
Iya. Kalau untuk aktivitas yang betul harus dibantu, cuma ketika ambil makanan aja, sisanya beliau juga makan sendiri.

Sejak kapan bokap lu kena glaukoma?
Mulai terasa kalau gak salah mungkin awal 2009, tapi beliau gak bilang apa-apa soal gangguan di matanya tersebut. Sampai akhirnya mata kirinya (gue lupa mana yang duluan antara kiri dan kanan) mulai bersisa 30% mungkin, dan dia waktu itu ada kerjaan bikin tabloid pariwisata dan harus jadi untuk dummy untuk 10 edisi, dikejar dalam deadline yang amat ketat, dan akhirnya memicu percepatan glaukoma tersebut.

Haduh … terus sekarang kondisi beliau gimana?
Sekarang beliau buta total, tapi berbeda dengan buta yang dari lahir, bokap gw katanya yang dilihat putih semua, sedangkan kalau yang buta dari lahir kabarnya hitam semua. Oh iya dampak lainnya adalah karena akhirnya jadi sangat kurang bergerak, beliau sangat gampang mabuk darat kalau kemana-mana, jadi agak susah kalau mau ada agenda ketemu dengan temen-temen teater atau wartawannya dulu ketika ada reuni. Mudah mabuk darat ini ternyata sangat masuk akal, Dea, kita bisa langsung simulasikan dengan mencoba naik kendaraan dengan mata tertutup, niscaya pening.

Iya, sih bener. Nah. Sekarang tentang novelnya. Wartawan Kerah Hitam ini sebenernya ceritanya tentang apa, sih?
Buku ini ya coba membahas apa yang tadinya (mungkin) malu-malu atau bahkan mendekati tabu untuk dibahas. Posisi wartawan yang diharapkan menjadi salah satu pilar berdirinya daulat sipil, malah terlibat di kubangan skandal yang disorot dengan geram oleh lapisan masayarakat manapun, yaitu korupsi.

Apa yang bikin novel ini beda sama novel lainnya?
Kalau buat gw sendiri, mungkin ini bukan buku pertama yang membahas isu serupa, tapi diharapkan gagasan dan semangat mawas diri sebagai bagian dari warga negara yang sadar akan perannya masing-masing, bisa disuarakan dengan lebih baik dan lebih luas untuk publik, lewat buku ini.

Gimana sistem penulisannya? Katanya kan duet sama Oom Uki Bayu Sedjati itu, ya?
Iya, Awalnya bokap gue ngerekam ide ceritanya dengan gaya tutur beliau. Terus rekaman dari mini recordernya, dalam bentuk kaset biasanya gue kasih ke Oom Uki di Bulungan, atau gw titip di pos satpam di depan GOR Jakarta Selatan. Setelah itu Oom Uki kirim email ke gue dalam bentuk tulisan, hasil terjemahan dari kaset rekaman tadi.

Setelah dari email, biasanya gue forward ke ade gue untuk nanti dibacakan sama anggota keluarga di rumah. Sempat ada hambatan karena ternyata gaya tutur anggota keluarga gue di rumah (dua adik perempuan gw dan nyokap) kurang cocok untuk bokap gue, karena gue rasa beliau mengharapkan proses baca tersebut yang paket kumplit, dengan intonasi dan artikulasi yang baik, sementara kayaknya itu tidak terjawab di anggota keluarga gue yang lain. Gue juga jarang sekali bacain, karena jarang pulang. Padahal pernah beberapa kali gue coba bacain, ternyata kurang lebih cook lah, gue bisa turuti aspirasi bokap gue itu.

Akhirnya sempat bokap gue minta tolong teman wartawannya yang lebih muda untuk datang ke rumah dan membacakan naskah tersebut. Oleh semua yang membacakan, biasanya langsung diedit juga kalau ada yang mau ditambahkan atau mau diganti oleh bokap gue.

Sebagai anak, apa yang bikin lo semangat ngasih support ke bokap lo?
Seumur hidup, beliau gak pernah memaksa gue untuk ikut jalur profesi ini atau disiplin ilmu itu. Sejak SMP, bokap sering “menyuruh” gue baca buku dengan cara dia naro buku dengan isu apapun di meja belajar gue, gak ada pesan romantis di atas post it atau petuah baca yang diucap di meja makan. Jenis kemerdekaan yang menurut gue cukup mahal, karena waktu masuk SMA, banyak temen-temen gue yang mendapat “tekanan” terkait langkah mereka selanjutnya. Jadi, gue dalam kapasitas sekarang, apapun yang bisa gue lakukan untuk mendukung supaya beliau tetap punya semangat (bukan soal menerbitkan buku saja) akan gue coba, meskipun ya sering juga gue ga punya waktu yang cukup buat beliau (Kindi sendiri berprofesi sebagai CSR Planner di sebuah Rumah Makan Internasional, serta bergerak juga di bidang pemasaran dan periklanan di Jakarta-red).

Terkahir. Kalau ada penerbit yang baca artikel ini dan tertarik kepengen nerbitin buku bokap lu, ngehubunginnya ke mana?
Hm... bisa ke Oom Uki aja Dea, Beliau bisa dihubungi di 081932841081.

“Manipulasi Informasi, pemerasan, persekongkolan-kong-kali-kong, tahu sama tahu, ternyata juga dilakukan ‘oknum’ wartawan” adalah kalimat yang tertulis di halaman awal novel Oom Hari Agustono, Wartawan Kerah Hitam. Penasaran dengan ceritanya? Langsung hubungi Oom Uki atau bertanya lebih lanjut melalui Kindi.

Seoarang setangguh Oom Hari, wartawan senior yang idealis berdedikasi, dan ayah yang mendidik anaknya dengan kemerdekaan, pasti punya pemikiran yang juga istimewa. Tidak percaya? Coba saja dibuktikan.

Ada yang tertarik menerbitkan Wartawan Kerah Hitam …?

Sundea

IMG-20130608-WA0012

foto dok. Kindi

Komentar