Jam Terbang

Judul buku: Jika Aku Mereka
Penulis: 12 Pemenang Sayembara Menulis Kisah Disabilitas
Tebal: 210 Halaman
Penerbit: Gagas Media
Harga: Rp 45.000,00

jam resized
Sesuatu yang kuning cerah terbang-terbang di luar jendela kamar saya. Warnanya kontras dengan langit mendung di sekitarnya. Saya membuka jendela, membiarkan si kuning terbang ke arah saya, kemudian hinggap di kusen jendela saya.

“Halo, siapa nama kamu?” sapa saya.
“Jam,” sahutnya singkat.
“Jam? Jamilah atau Jamaludin?” tanya saya lagi.
Makhluk kuning itu tertawa, “Bukan dua-duanya …”
“Jam ‘waktu’? Jam ‘kemacetan’? Atau jam ‘selai’ …?” tanya saya lagi.
“Bukan, bukan, bukan. Jam adalah singkatan dari Jika Aku Mereka…”
“Jika kamu siapa?” lagi-lagi saya bertanya.
Jam merentangkan sayapnya yang berlembar-lembar, “Kalau ingin tahu, kamu bisa membaca cerita-cerita yang tersurat di sayapku …”



Sebentar kemudian saya sudah asyik membaca kisah-kisah yang tertulis pada sayap-sayap Jam. Pada sebuah kisah bertajuk “Gapai Kembali” karya Fenny Wong, secara kontras Jam membandingkan seorang anak dengan kondisi fisik lengkap yang justru “dilumpuhkan” oleh kemanjaannya, dengan para pengguna tangan dan kaki palsu yang lebih mandiri, meski harus mengenakan tangan-kaki palsu yang ukurannya kurang sesuai. Pada “Pelangi dalam Kenangan” karya Artie Ahmad, terkisahlah seorang buta penjual mainan yang rutin berdagang di pasar. Tien yang mengalami kesulitan belajar tetapi manis dan pandai menari diceritakan Citra Ashri dalam “Tujuh Pelangi”. Kisah-kisah itu membuat saya jadi mempertanyakan lagi makna “disable”. Jika dalam banyak hal kadang-kadang mereka lebih “able” daripada kita, siapa sebetulnya yang “disable”?

Jika Aku Mereka adalah dua belas cerita pemenang sayamebara menulis kisah disabilitas. Meski disampaikan dalam berbagai gaya, setiap cerita di sana diangkat dari kisah nyata. Penulisnya beragam. Mulai dari guru, seorang kakak atau adik, teman sekelas, sampai penyandang disabilitas itu sendiri. Tajuk Jika Aku Mereka sepertinya dipilih untuk mengajak kita berempati dan berbagai sudut pandang membuat kita dapat melihat isu ini dari segala sisi.

“Dea, kamu tahu kenapa aku terbang?” tanya Jam ketika saya mengatupkan sayapnya. Sebelum saya sempat menjawab, Jam segera melanjutkan, “Karena aku tidak punya kaki.”
“Oh, iya,” saya baru tersadar.
“Ya sudah, aku pergi lagi, ya, dadah …” pamit Jam sambil bersiap-siap terbang kembali.
“Buru-buru amat …” kata saya.
“Kita harus memanfaatkan waktu, Dea,” sahut Jam seraya bertolak.

Sebelum saya sempat mengatakan apa-apa lagi, Jam sudah hilang ditelan jarak. Saya belum merasa cukup mengenalnya, tetapi saya sudah merasa dapat menangkap esensinya.

Jam yang menunjukkan waktu mewakilinya. Keterbatasan membuat teman kuning saya itu menghargai setiap waktu yang dimilikinya, memanfaatkannya secara efektif, sehingga memperoleh hasil yang paling maksimal. Ia yang tak berkaki tak berarti berkekurangan. Ia justru memiliki sayap. Kembali saya bertanya di dalam hati. Siapa yang “disable”? Saya tak melihat kepapaan pada teman baru saya, Jam.

Jam, teman kuning saya, terbang lagi entah ke mana. Disiarkannya cerita-cerita yang terlampir di buku-buku sayapnya…

Sundea

Komentar