Petrichor

Anak Beruang mengintip dari balik jendela. Hujan yang tadinya turun deras, mulai menjelma rintik-rintik. Anak Beruang merasa senang. Ia suka melihat langit yang berangsur cerah dan mendengar kembali suara-suara yang sebelumnya didominasi rengekan hujan. 

“Lihat, Ibu, hujannya sudah dera!” seru Anak Beruang riang.
“Reda,” koreksi Ibu Beruang yang sedang menjahit piyama sobek Anak Beruang.
“Oh, iya. Reda. Sekarang aku sudah boleh main keluar kan, Bu?” tanya Anak Beruang.
Ibu berhenti menjahit sejenak. Ia memandang keluar jendela, memastikan hujan betul-betul sudah berhenti, lalu akhirnya mengangguk. “Tapi jangan jauh-jauh, ya, ini sudah sore.”
“Baiklah,” sahut Anak Beruang seraya berlari keluar rumah. Meski tak tahu mengapa ia tak boleh bermain jauh-jauh jika hari sudah sore, Anak Beruang tidak bertanya. Ia tak ingin membuang-buang waktu. 

100_6433

Anak Beruang melompat-lompat di atas tanah becek sambil menghirup harum yang dikenalnya dengan baik. Bukan bau bunga. Bukan bau rumput. Bukan bau binatang apapun. Anak Beruang suka. Bau itu selalu muncul setelah hujan dan memberi kedamaian.

Tetapi kali itu Si Bau memilih saluran lain. Ia tidak masuk melalui hidung Anak Beruang, melainkan telinganya. Tiba-tiba ia berbisik.



“Hei, aku Petrichor!”
“Hah? Siapa?” tanya Anak Beruang terkejut.
“Petrichor. Aku yang biasanya kau hirup-hirup setelah hujan …”
“Lho? Kamu kan bau. Kalau kamu masuk lewat telinga begini, kamu jadi suara,” kata Anak Beruang. Ia berhenti melompat-lompat di atas becek. Mencoba mengenali Petrichor yang tahu-tahu muncul dalam bentuk lain.
“Tapi aku tetap aku,” ujar Petrichor.

Anak Beruang terdiam, mencoba mengindera Petrichor lebih dekat lagi. Betul juga. Sebagai bau ataupun sebagai suara, Petrichor membawa kedamaian yang sama. Maka Anak Beruang memutuskan untuk tetap bermain dengan Petrichor meskipun ia sudah menjelma menjadi suara.

“Kenapa kamu harus menjadi suara?” tanya Anak Beruang sambil kembali berjalan-jalan.
“Supaya kamu tahu namaku,” sahut Petrichor.
“Kenapa aku harus tahu namamu?” tanya Anak Beruang lagi.
“Supaya kamu tahu bagaimana memanggil aku,” sahut Petrichor yang berputar-putar di telinga Anak Beruang, kemudian menyusup masuk ke dalam hatinya.

100_6428

Anak Beruang selalu bertanya, dan Petrichor tak pernah bosan menjawab. Hingga akhirnya Petrichor balik bertanya.
“Anak Beruang, apa yang kamu lakukan ketika hujan dera?”
“Reda, Petrichor,” koreksi Anak Beruang.
“Dera, bukan reda. Hujan dera adalah hujan yang turun terus dan terus dan terus menerus …”
“Hmmm. Aku di rumah saja, menunggu hujan dera jadi reda. Aku dilarang bermain keluar oleh Ibu. Kamu?”
Kali itu Petrichor diam saja. Padahal sebelumnya Petrichor selalu menjawab pertanyaan Anak Beruang seaneh apapun itu.

Petrichor kemudian kembali menjelma aroma. Ia membiarkan Anak Beruang menghirupnya dalam-dalam tanpa bercakap-cakap lagi. Tapi setidaknya kali itu Anak Beruang sudah dapat menyebut nama Petrichor seperti menyebut-Nya di dalam doa. Itu membuat Petrichor terasa lebih dekat dan nyata bagi Anak Beruang.

Anak Beruang tidak tahu mengapa kita tak boleh bermain jauh-jauh jika hari sudah sore, tetapi Petrichor tahu. Sebab pada suatu sore, ketika Petrichor bermain terlalu jauh, hujan dera turun di mana-mana. Saat ia kembali, banjir sudah mengepung sebagai barikade bencana. Petrichor mencoba menjadi suara, membentuk wujud, memberkati air, dan berusaha hadir sebagai langit cerah, namun percuma. Kedamaiannya tak menemukan jalan untuk menyusup. Petrichor tak bisa pulang.

Petrichor ingin beristirahat saja. Entah mengapa ia merasa Anak Beruang adalah tempat persinggahan yang paling tepat. Padahal ia tahu Anak Beruang yang tak pernah tahu jalan tidak mungkin mengantarnya pulang. Ia pun tahu Anak Beruang tak bisa membaca, jadi tak mungkin ia tahu berita bencana alam yang beredar di koran-koran.

Hari itu Anak Beruang mematuhi pesan ibunya. Ia tidak bermain terlalu jauh dan kembali ke rumah sebelum makan malam. Piyamanya yang sobek sudah selesai dijahit dan disetrika. Ibu menggantungnya di depan kamar Anak Beruang.

“Ibu, hujan dera sudah,” kata Anak Beruang sambil memeluk-meluk piyamanya yang lembut, hangat, dan wangi seperti Petrichor.
“Hujan sudah reda,” koreksi Ibu Beruang.
“Bukan, Ibu, karena hujan dera sudah berlalu, artinya sekarang hujan dera sudah,” kata Anak Beruang lagi dengan riang.
“Ah, kamu,” tanggap Ibu Beruang setengah bergumam. Ia tidak tertarik membahas kalimat Anak Beruang lebih lanjut.

Ketika Ibu sedang menyiapkan makan malam, Anak Beruang menyanyi-nyanyi sendiri sambil melompat-lompat kecil dan menari-nari di belakang Ibu Beruang. Ia membuat lagu dengan dua kalimat. “Hujan dera sudah. Hujan sudah reda”.

Meski tahu Ibu Beruang tak akan memperhatikan, Anak Beruang tidak peduli. Ia menyanyi hanya karena ingin menyanyi. Yang Anak Beruang tak ketahui, sepanjang malam Petrichor menghirup nyanyian Anak Beruang seperti Anak Beruang biasa menghirup keharuman Petrichor.

Bagi Petrichor, nyanyian Anak Beruang seperti permulaan musim semi. Meski gelap dan dingin belum sepenuhnya berlalu, di sana ia dapat melihat tanda-tanda kecil yang menjanjikan kehidupan. Petrichor lantas tahu mengapa ia memilih Anak Beruang sebagai tempat beristirahat.

Hujan dera sudah. Hujan sudah reda. 

Maka Petrichor yakin ia akan segera menemukan jalan pulang …

100_6434
Sundea 

Artwork oleh Andika Budiman
Andika adalah lulusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, yang suka menggambar dan menulis panjang-panjang. Dia aktif di gerakan cardtopost dan tak pernah lupa menambahkan ilustrasi warna-warni ketika berkirim surat dengan seseorang.
Ilustrasinya untuk cerita Anak Beruang kali ini sangat tidak biasa, dalam bentuk layang-layang. Lucu sekali kan?
Ingin kenal Andika dan berkirim surat atau kartu pos dengannya? Silakan kunjungi http://ngungsi.blogspot.com/

Komentar