-Bandung, 1 Februari 2014-
Pada suatu pagi yang cerah, beberapa hari setelah Resatio Adi Putra alias Tio pulang dari Yogyakarta, Tio dan Dea bertemu di Kineruku. Berhubung tidak bisa datang ke pameran tunggal Tio, “Structured Chaos”, di galeri Viavia, Yogyakarta, pada tanggal 25 Januari – 8 Februari 2014, Dea minta “dioleholehi” cerita, foto, dan katalog saja dari Tio. Di luar dugaan, Tio membawa oleh-oleh lain:
“Tio, elu tau ya kalo gue Gemini?” tanya Dea sok percaya diri.
“Enggak, sih,” sahut Tio.
“Tapi ini Gemini banget. Anak kembar,” kata Dea lagi.
“Sebenernya The Twins ini tokoh yang serem di salah satu film.”
“Apa seremnya?”
“Di film itu mereka selalu muncul sambil senyum, cuma random banget dan sekilas-sekilas. Kesannya jadi misterius.”
“Oh gitu … hahahaha …”
Kendati begitu, di karya Tio, “The Twins” ini menjelma menjadi tokoh lain. Ia adalah seorang gadis kecil yang melihat bayangannya sendiri di cermin, dan membangun cerita baru dari apa yang dilihatnya di sana. “Kolase itu membangkitkan yang mati,” kata Tio, “Dari bahan-bahan yang mungkin udah dilupain, bahkan ada di tumpukan paling bawah koleksi, kita bisa bikin sesuatu yang baru.”
Structured – Chaos menampilkan 19 karya kolase Tio yang dibuatnya beberapa tahun terakhir. Uniknya, setiap karya Tio dideskripsikan dengan puisi pendek yang ditulis sendiri oleh Tio. Ambil contoh pada karya-karya ini:
Hold on to my ship
Don’t worry, after all we are all a creep
Dear Mr. Train,
Would you take me to the pain?
I guess not, you forgot your key
I barely can see
(An Odd Voyage)
What if I can travel back in time?
I would kill my fool in a second
Maybe I should see
Doc and Marty,
Immediately.
So I can live my parallel universe,
Auctioned
(Parallel Universe)
Tio tidak ingat persis kapan pertama kali ia tertarik membuat kolase. “Sekitar tahun 2009-2010,” ia mengira-ngira. Yang pasti, pada suatu ketika, tak sengaja Tio menemukan karya Mark Wagner, seorang seniman kolase yang pernah membuat karya dengan dollar Amerika. Tio lantas merasa kolase dapat mewakili kegelisahan di dalam dirinya dan lebih utuh mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan. “Bikin kolase beda sama ngegambar. Kalau ngegambar, kita langsung tau bentuk kayak gimana yang mau kita buat. Sementara di kolase ada proses mengumpulkan, mencari, dan menyusun. Ketika kita perlu gambar bunga atau kelinci, nggak berarti semua gambar bunga atau kelinci bisa kita pakai. Kita harus milih.”
Sekalipun kolase terdiri dari potongan gambar-gambar yang sudah ada, pada akhirnya setiap seniman akan mempunyai bahasa visualnya masing-masing. Tio misalnya, cenderung memilih gambar-gambar vintage, menyusunnya menjadi karya yang gelap, surealis, sekaligus naïf. “Kolase juga ada yang acak-acakan banget, ada yang rapi. Bisa meredakan yang chaos, atau justru malah meng-chaos-kan yang reda,” papar Tio ketika ditanya mengenai tajuk pamerannya: Structured-Cahos. “Punya kamu yang mana? Meredakan yang chaos atau meng-chaos-kan yang reda?” tanya Dea. “Kalau aku … kayaknya meredakan yang chaos,” kata Tio yang lebih suka membuat kolase yang rapi secara visual.
Pembicaraan kami pagi hingga siang itu pun menjadi sebuah kolase tersendiri. Dari antara belantara peristiwa, kami mencuplik topik-topik kecil, kemudian menyusunnya dalam percakapan yang menyenangkan.
“Gua kan kerja di design. Kalau mau bikin sesuatu, biasanya kita bikin mood board-nya dulu. Ide-idenya itu sendiri pada akhirnya juga kolase. Idup kita juga nggak jauh-jauh dari kolase. Anak kecil misalnya, biasanya niru. Apa yang dia tiru itu bakal ngebentuk dia,” tutur Tio.
“Bener juga. Yang ditiru juga nggak cuma satu. Ada proses memilih dan mengolah di apa yang dia tiru itu. Jadi kolase deh,” tanggap Dea.
Tio langsung setuju.
“Waktu kecil … gua nggak terlalu banyak ngomong. Nggak suka tampil di depan orang. Nggak pernah dibeliin buku, dibeliinnya majalah. Begitu udah gede dan udah bisa beli buku sendiri, gua beli buku dan suka ngebacain cerita ke anak tetangga gua. Gua suka ke Kineruku. Gua suka cerita yang dark, tapi eksekusinya justru manis dan terselubung. Karya gua itu perpaduan dari cerita anak, mimpi buruk, darkness, segala macem. Sebetulnya karya gua itu summary idup gua,” simpul Tio.
Kami berdua lantas merenung. Mencoba memperhatikan kolase hidup kami masing-masing, menelusuri setiap potongan yang menyusunnya, kemudian menakjubinya dengan syukur dan pemahaman baru. Ke-chaos-an yang beterbangan di sekitar kami, kami tangkap kemudian kami redakan dalam sebuah bentuk yang merepresentasikan diri kami.
Ketika artikel ini muncul di www.salamatahari.com, Tio mungkin sudah mengemas karya-karyanya dari galeri Viavia Jogjakarta. Pamerannya sudah usai. Tapi “oleh-oleh” ini adalah sesuatu yang tak akan basi. Kamu bisa mencomotnya kapan saja dan mengolahnya menjadi apa saja seperti potongan-potongan gambar dari koran dan majalah.
Teman-teman, semoga artikel kecil ini dan karya-karya Tio dapat menjadi bagian dari kolase hidupmu. Cupliklah bagian yang kamu suka dan olahlah dengan cara yang sangat “kamu”.
Oh, iya, kamu bisa mengunjungi Tio di:
Sundea
foto-foto dokumentasi Resatio kecuali foto pertama
Komentar