Selama bertahun-tahun, Komo menjadi penyebab kemacetan Jakarta. Ia lewat di Thamrin, Sudirman, Taman Mini, Bunderan H.I, Harmoni, juga Monas. Tapi siapa yang pernah melihat sosok raksasa Komo berjalan-jalan seperti Godzilla di tengah kota? Bagaimana Komo membuat dirinya invisible?
Mungkin “Komo” memang selamanya invisible. Ia adalah mitos. Sesuatu yang diciptakan untuk menyimpulkan kerumitan, atau menamai hal-hal yang masih misteri. Ia mungkin begitu besar, atau justru terlalu kecil. Kita tak pernah tahu persis seperti apa wujudnya, tapi kita percaya ia adalah sesuatu yang begitu dekat dengan hidup kita.
Di edisi ini, www.salamatahari.com menghadirkan posting yang mengandung “Komo”. Ada album Rayhan Sudradjat, “Co(s)mology Fantasy”, zat entah apa yang membawa Dea pada sesuatu yang sangat personal. Ada cerita Sapi dari Kedai Nyereung yang ternyata mengenal Si Komo. Ada ceracau mengenai kasus bunuh diri ketua panitia Local Stock Festival dan kasus bulak-balik celakanya travel Cititrans.
Sesuatu yang dikomodohitamkan (bukan kambing hitam) belum tentu buruk. Kadang ia justru membantu kita memetakan segala yang abstrak dalam hidup. Mitos selalu punya sejumput kebenaran meskipun kita tak selalu dapat mengukur kadarnya secara pasti.
Omong-omong, apa persisnya arti “weleh, weleh, weleh” yang sering dicetuskan Si Komo …?
Mungkin itu bagian dari misterinya.
Semoga yang “well” meng-“eh”-mbirakan kita sepanjang waktu.
Sekadar informasi, serial “Si Komo” tayang kembali di MNC Kids setiap hari pukul delapan pagi.
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea
Turut berduka cita atas wafatnya Mas Yoga Cahyadi dan korban kecelakaan Cititrans Travel.
Komentar
Makasih dimampirin ke sini =)