Namanya Bentara Bumi. Lulusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran ini, baru saja meninggalkan pekerjaan di Ekonid, Kadin Jerman.'
Tetapi ia baru pula ditinggalkan oleh Eyang terkasihnya 24 Oktober 2012 lalu. Di edisi ini, perempuan berakun twitter @bentarabumi ini berbagi cerita mengenai Sang Eyang Puteri …
Bum, siapa aja yang lo panggil “Yang” ?
Aku ga pernah manggil “Yang” ke siapa-siapa, pernahnya manggil “Yank”. Hehehe. Gue selalu punya sebutan khusus untuk tiap orang yg sedang gue pacari (iyes, pacar gue emang banyak dulu *ngakak*). Karena panggilan “Yank” merupakan panggilan yang paling umum, kayaknya gue pake panggilan itu di pacar pertama gue bertahun-tahun yang lalu. Pacar sekarang gue, gue panggil nyebebe. Itu dari kata baby, jadi bebeb, ebe, jadi nyebebe. Ahahaha. Nggilani kan?
Hahaha … terus Eyang lo lo panggil apa? Bukan “Ey”, kan, pasti “Yang” ?
Hahaha. Bener banget. Untuk Eyang, gw sering banget manggilnya "Yaaaaang, Eyaaaaang." :D
Apa yang lo inget tentang almarhum Eyang lo ini?
Yang selalu gue inget tentang beliau adalah beliau ini jago sekali masak. Dulu setiap Lebaran beliau selalu menyiapkan hidangan khas Lebaran. Dari telor rebus bumbu petis, krecek, hingga ayam berbumbu. Masakan yang membutuhkan persiapan berhari-hari. Itu sebabnya ketika Eyang Puteri sudah tak kuat lagi memasak, anak dan cucunya mengganti menu khas lebaran menjadi menu instan dan mudah karena tak ada yang bisa memasak seenak Eyang. Kalaupun ada (ibuku jago sekali masak), tenaga yang tersedia tak mencukupi untuk menyiapkan makanan sebegitu banyaknya. Akhirnya kini keluarga kami terkenal sebagai keluarga dengan menu khas di kala lebaran, Tom Yung dan Spaghetti.
Hehehe … baru tau gue ada menu Lebaran kayak gitu. Sedeket apa, sih, elu sama almarhum Eyang Puteri?
Sebenarnya gue jarang ngobrol sama Eyang. Tapi banyak hal yang bisa gue ingat dari hubungan kami selama ini. Dalam banyak kejadian, ada kesan kocak yang gue tangkap dari beberapa kejadian. Misalnya, Eyang Puteri ini emotionless. Dulu saat Ceriwis masih lucu-lucunya karena di-host oleh Indy Barens dan Indra Bekti, Eyang Puteri bisa lho diam dan nonton Ceriwis dengan serius tanpa tawa sedikitpun.
Widiiiih hebat …
Ternyata gue sebagai cucunya mendapat karakter yang sama. Gue ini agak susah ketawa dibanding orang lain. Komik Karieagkun yang katanya lucu banget biasa gue baca dengan kening berkerut. Bapak gue juga gitu denk. Dia ini juga termasuk orang yang jarang ketawa dan kalo ngelucu garingnya luar biasa.
Wah … menurun secara genetis, ya … terus apa lagi emotionless-nya?
Pas Eyang kakung meninggal, Eyang Puteri ini ga menangis sedikitpun. Gue tau dia sedih pasti, gue melihat beliau murung. Tapi gue sama sekali ga lihat Eyang Puteri nangis dan curhat tentang Eyang Kakung gue yang meninggal. Yang nangis malah keluarga yang datang mengucapkan duka cita.
Tegar banget, ya. Kalau Eyang Kakung orangnya gimana?
Berbeda dengan Eyang Puteri yang cukup dingin dan kaku, gue mendengar dari cerita bahwa Eyang Kakung itu hangat dan romantis. Alkisah selama Eyang Kakung hidup, beliau selalu menggenggam tangan Eyang Puteri ketika tidur.
Aaaaa … manis sungguuuuh ….
Eyang Kakung juga menuliskan banyak surat kepada Eyang Puteri saat pacaran dulu. Surat-surat tersebut disimpan dengan rapih oleh eyang puteri, namun ketika Eyang Kakung meninggal dan Eyang Puteri harus berpindah dari Surabaya ke Jakarta ia membakar semua surat-surat dari Eyang Kakung.
Ciyus? Miapah?
Alasannya, malu nanti kalo dibaca sama cucunya pas dia meninggal. Alasan yang kocak sekaligus bikin sedih.
Hahaha … tapi pasti datar dia ngomongnya. Terus apa lagi yang lo inget dari Eyang Puteri? Selain kedatarannya …
Hal paling mengesankan yang gue inget adalah ketika gue baru saja lulus. Well, gue lulus cukup lama. Butuh waktu 7 tahun. Dan karena cucu pertama dari keluarga Eyang gue, gue memang diharapkan untuk segera lulus. Ketika gue lulus, gue berkebaya dan hasilnya memang bagus sekali di foto. Eyang gue ini sangat bangga dengan foto gue pake kebaya dan toga. Dia membawa foto ukuran postcard dan selalu dia simpan di kotak makeupnya. Sebagai informasi, Eyang Puteri gue sudah bertahun-tahun duduk di kursi roda. Tidak banyak aktifitas fisik yang dia lakukan. Tetapi satu hal pasti, sehabis mandi ia pasti berdandan. Minimal menyisir rambut, memakai bedak, memakai lipstick dan memberikan parfum ke tubuhnya. Karena itu kotak makeupnya adalah benda milik Eyang yang paling berharga. Nah selesai gue wisuda, foto gue selalu dia simpan di kotak makeupnya. Dan foto gue bertoga serta berkebaya selalu dia tunjukkan dengan wajah berseri-seri kepada siapapun yang datang menjenguknya. Dia selalu berkata bahwa ini adalah foto cucu pertamanya yang baru selesai kuliah dan mendapatkan gelar cumlaude. Gue ga dapet cumlaude, entah darimana dia mendapatkan ide itu. Tapi sungguh gue sangat bahagia melihat Eyang yang begitu bangga sama gue.
Waktu Eyang Puteri mau “pergi”, lo ada firasat nggak?
Dua minggu sebelum Eyang masuk rumah sakit, adik gue menikah. Perayaannya cukup meriah karena ini pertama kalinya ada cucunya Eyang yang menikah (gue dilangkahin). Nah gue berfikir Eyang bakal excited banget. Ternyata yang gue lihat malah kebalikannya. Eyang terlihat capek dan cuek. Baru saat itu gue sadar kalau beliau sudah sepuh. Entah kenapa di saat itu gue berpikir bahwa gue harus bersiap-siap bahwa akan ada hari dimana Eyang gue ga akan ada.
Dan waktu akhirnya dia betul-betul nggak ada, apa yang lo rasain?
Eyang gue dirawat di rumah sakit sekitar satu bulan. Selama satu bulan itu dia mengalami tiga kali masuk ICU dan tiga kali koma. Saat pertama koma, gue menengoknya di ICU. Pada saat itu ia sudah terbangun dari komanya. Gue melihat Eyang Puteri sangat kesal dengan selang yang dimasukkan ke mulutnya. Rengekan mirip anak kecil dan tangan yang terus ingin menarik lepas selang itu, membuat gue menyadari bahwa eyang sungguh merasa tidak nyaman dengan keadaannya saat ini. Jujur saat itu gue sedih banget. Ga tega rasanya melihat dia harus kesakitan dan berada dalam keadaan tidak nyaman karena berbagai selang, jarum dan peralatan menempel di tubuhnya.
Saat kedua gue menengoknya, Eyang sedang berada di ruangan biasa di rumah sakit. Matanya mulai tidak fokus, sudah susah untuk berbicara. Tubuhnya sudah kurus dan tinggal kulit. Mengingatkan gue di momen terakhir saat Eyang Kakung terkena kanker lalu meninggal. Gue ingat Eyang mengerang kesakitan saat tubuh kurusnya dipasangi infus. Gue ga tega ngelihatnya. Ketika gue ga tega, gue memilih menghindar dan tidak dekat-dekat dengan sang penderita sakit. Gue lebih memilih mengingat mereka dalam keadaan sehat dan bukan dalam keadaan sakit.
I see. Btw, kan pembaca salamatahari ini masih punya orang-orang yang mereka sayang. Punya saran nggak kira-kira apa yang baik mereka lakuin ke orang-orang yang mereka sayang, sebelum orang-orang itu pergi? (Panjang ya Bok pertanyaan gue …)
Apa ya? Sejujurnya gw ini agak takut sama kematian karena dia berhubungan dengan perpisahan. Nah, gw blm pernah ngalamin kehilangan yg namanya inner circle. Eyang gw memang keluarga dekat gw, tapi dia bukan orang yang daily ada bareng sama gw. Nah, ketakutan terbesar gw adalah jika suatu hari gw kudu kehilangan salah satu dr inner circle. Kadang gw suka ngebayangin gimana klo kejadian, ga kuat gw nahan sedihnya. Jadi apa yang harus dilakukan? Ga ada. Gw bisa bilang kita kudu memanfaatkan segala waktu yg kita punya dengan orang terdekat. Tapi hidup ga seperti itu. Pasti ada masa-masa di mana kita benci dan cinta dalam waktu bersamaan dengan keluarga kita. Jadi, kita cuma bisa jadi manusia dan menjalani hidup kita hari kehari. Sambil berharap, ketika waktunya tiba kita kuat menghadapi perpisahan.
Sweet wisdom J Thank you, Bum …
Sama-sama…
Meski baru saja meninggalkan pekerjaan lamanya, Bumi tengah bersiap-siap menyambut pekerjaan barunya pada sebuah korporat yang resmi dan strict di Denpasar. Ada yang hilang dan ada yang datang. Ada Yang dan ada Yin. Selalu ada yang kita sayang, tapi cara menyayangi adalah pelajaran seumur hidup …
Mungkin saat ini Eyang Kakung dan Eyang Puteri Bumi telah kembali tidur bersisian di surga. Dan Eyang Kakung kembali menemukan tangan yang lama tak ia genggam …
Sundea
Komentar