Ada bunga kecil yang tumbuh di tanah berpasir. Tuhan yang transparan terbang-terbang, kemudian tertarik pada pesonanya. Ia dan batang bunga kuning saling mengait. Ketika angin bertiup, mereka menyenandungkan lagu bernada miring, “kresss … kress …kresss …”.
Sebetulnya mereka bernyanyi dengan suara yang hampir tidak terdengar. Namun, karena dea berdiri lama sekali di pinggir jalan, nyanyian mereka tertangkap telinga dea.
“Hai tuhan, hai bunga,” sapa dea.
“Hai dea, kenapa dari tadi kamu berdiri di situ?” sahut tuhan dan bunga. Suara mereka sudah tak dapat dipisahkan.
“Sebetulnya dea mau nyebrang. Tapi kendaraannya kenceng-kenceng banget, susah mau lewat,” kata dea seraya berjongkok di sebelah tuhan dan bunga.
“Iya, memang begitu di Denpasar ini, dea,” ujar tuhan dan bunga.
Sesudah itu kami seperti begitu saja kehabisan topik pembicaraan. Tuhan seperti ingin melepaskan diri dari bunga, tetapi dea tahu tinggal bersama bunga adalah keputusannya. Sementara tetap tertanam adalah cara bunga memahami tuhan. Dan interaksi mereka adalah cara menciptakan nada-nada yang mereka senandungkan. Tuhan dan bunga kemudian tidak terpisah. Sama-sama menjadi bagian dari tanah berpasir. Dekat dengan empang. Setiap hari mengamati jalan raya.
“Jangan takut menyebrang, dea. Mobil-mobil akan berhenti begitu kamu ambil ancang-ancang melangkahkan kaki,” kata tuhan dan bunga.
“Nanti dea ditabrak …”
“Makanya kamu yang tabrak duluan dengan keyakinan kamu…”
Dea tersenyum. Betul juga.
Dea lalu mengikuti saran tuhan dan bunga. Ternyata mereka betul. Begitu dea melangkah dengan percaya diri, motor yang tadinya melaju kencang sekali memperlambat langkahnya. Mobil memberi jalan. Tibalah dea dengan selamat di sebrang.
Dari sebrang, dea mencoba melambai kepada tuhan dan bunga. Tetapi kendaraan yang kembali melaju kencang seperti komet menghalangi pandangan dea. Dari sebrang, lagu mereka juga tak lagi terdengar. Kendati begitu, dea yakin sekali mereka masih menyanyikan lagu “kress kress kress” mereka.
Seingat dea, di dalam istilah musik “kres” adalah tanda untuk menaikkan nada setengah saja. Lambangnya adalah tagar (#). Lalu apa hubungannya dengan rangkaian peristiwa hari itu?
Dea tahu hari itu metafor dan kenyataan bersama-sama menyanyikan sesuatu, tidak terpisah seperti bunga dan tuhan di tanah berpasir.
Tetapi mereka berbicara setengah-setengah. Ungkapan mereka menghadirkan pemahaman yang gamang.
Dea berjalan pulang setengah mengambang, berusaha menghalau pertanyaan yang tak selalu ada jawabannya.
Sundea
Komentar