“Kenapa harus bukan biru?” Si Senja balik bertanya.
“Karena … iya, ya, kenapa harus bukan biru,” tanggap saya sambil tersenyum kecil.
Hari itu, saya bertemu sepotong senja. Namanya Perkara Mengirim Senja. Saya suka menyentuh permukaannya yang bertekstur seperti lantai kamar mandi. Saya juga suka duduk dekat-dekat dengannya meskipun ia terasa agak dingin.
“Kenapa kamu dingin, sih?” tanya saya.
“Kenapa harus tidak dingin?” lagi-lagi Perkara Mengirim Senja balik bertanya.
“Karena … iya, ya, kenapa harus tidak dingin,” lagi-lagi ia membuat saya tersenyum kecil.
Perkara Mengirim Senja adalah lima belas setengah perkara yang dibundel dalam sebuah senja berwarna biru. Kenapa harus biru? Mungkin karena seluruh perkara di dalam bundelan itu sendu. Mengapa harus sendu? Itulah.
“Selain singkatan dari Seno Gumira Adjidarma, mungkin SGA juga singkatan dari Senja Galau dan Asmara,” cetus saya.
“Iya juga, ya,” kali itu Perkara Mengirim Senja-lah yang saya buat tersenyum kecil.
Setiap perkara yang hadir dalam Perkara Mengirim Senja adalah semacam bayang-bayang, pantulan, atau sekadar bias sinar dari kisah-kisah yang ditorehkan oleh SGA. Empat belas penulis – Valiant Budi Yogi, Jia Effendie, Aan Mansyur, Lala Bohang, Putra Perdana, Faizal Reza, Utami Diah, Mudin Em, Maradilla Syachridar, Theoresia Rumthe, Arnelies, Feby Indirani, Rita Achdris, dan Sundea – diberi kesempatan bermain dengan kisah-kisah SGA dan merumuskan aksennya.
Lalu, seperti apa jika senja jadi biru?
Sinar matahari adalah sisa cahaya dan kehangatan yang harus kau buru …
Sundea
Perkara Mengirim Senja kini telah hadir di toko-toko buku kesayanganmu. Kamu pun masih dapat memesannya secara online melalui poscinta.com. Kunjungi juga blog http://www.perkaramengirimsenja.blogspot.com/ untuk informasi lebih lengkap.
Komentar