Di Balik Gelombang

-Bandung, 29 April 2012-

Botram Bandungers

Di antara reruntuhan Gedung Lyceum, Dago, sekuntum bunga yang merah segar tengadah menatap langit. Triplek menjepitnya; entah sekadar menjaganya tetap tegak berdiri atau memang mampu menjadi tanah. Saya tersenyum melihatnya. Di keluasan yang gersang, ia tampak seperti keberanian dan harapan.




April 2012 lalu, bangunan yang dikenal sebagai SMAK 1 Dago dan SMAN 1 Bandung dihancurkan. Tak terlalu banyak yang menyadarinya. “Soalnya caranya selalu sama. Ditutupin dulu pake seng tinggi, baru diancurin,” cerita Asih, salah seorang aktivis Bandungers. Pada UU No.5/1992 Tentang Cagar Budaya, tertulis bahwa bangunan yang usianya di atas lima puluh tahun dikategorikan sebagai benda Cagar Budaya. Gedung Lyceum sudah berdiri sejak tahun 1910. Artinya, usianya sudah lebih dari seratus tahun dan seharusnya jelas termasuk bangunan yang harus dilindungi oleh undang-undang. 


Sebagai bentuk kasih pada kota ini, Bandungers berpiknik di reruntuhan Gedung Lyceum pada Car Free Day 29 April lalu. Bandungers sendiri adalah sekelompok individu dan komunitas kota Bandung yang bermimpi menjadikan Bandung kota yang sehat, dibangun berdasarkan sejarah, dan identitas yang unik. Semboyan mereka sungguh optimis adanya Ex unidis sol, mentari muncul di balik gelombang.

Tidak banyak yang saya tahu mengenai komunitas ini, juga tentang Gedung Lyceum yang saya datangi. Yang saya tahu adalah pada Minggu pagi itu saya merasa senang melihat bunga merah di tengah reruntuhan. Ia yang menatap angkasa mungkin juga percaya mentari akan muncul di balik gelombang. Mungkin juga si bunga sedang berdoa; mencari tuhan di sela-sela awan dan matahari.

Pagi menjelang siang itu, matahari yang bersinar terik membuat wilayah tak beratap di bilangan Dago tersebut tampak benderang. Bandungers yang berpakaian hitam-hitam mengerutkan kening menahan silau. Tapi bunga merah tidak. Ia bertatapan dengan matahari dan matahari melimpahinya sinar yang mempertajam warnanya. Lalu di manakah tuhan?


Karena tuhan pun kerap muncul di balik gelombang, hari Minggu itu ia tidak sedang berada di langit. Ia hadir sejajar dengan bunga merah dan Bandungers, menjelma menjadi sebuntal kresek hitam yang duduk-duduk di atas daun kering. Diam-diam ia mengamati semua yang bergelombang di antara reruntuhan dan mengirimkan kekuatan untuk teguh berdiri pada bunga merah berikut tripleknya.

Saya berjongkok dan memotretnya. Entah yang mana mata tuhan, namun entah bagaimana juga saya percaya ia menatap lensa saya lekat-lekat …


Sundea
Kunjungi Bandungers di http://bandungers.wordpress.com/ dan follow twitternya di @WargaBdg

Komentar