Ketika saya kecil, pengasuh saya, Mbak Inem, pernah menasehati saya seperti ini: “De, kita harus seperti layang-layang. Meskipun kesangkut di pohon dan sobek, layang-layang tetep bisa terbang lagi.”
Saya lupa apa pasal nasehat tersebut. Tapi apa yang dikatakan Mbak Inem menjadi salah satu metafor yang saya ingat sepanjang masa. Sejak saat itu saya jadi sering memperhatikan layang-layang. Tanpa saya sadari, layang-layang menjadi bahasa yang kerap muncul di cerita dan gambar saya. Saya tak pernah bermain layang-layang, namun ada persahabatan ajaib antara layang-layang dan saya.
Minggu ini saya mem-posting bebeberapa cerita lama saya yang berlayang-layang. Ada sinopsis novelet yang saya tulis ketika SLTP, cerita mengenai layang-layang yang merasa bisa berenang, pertanyaan tentang identitas yang saya tulis semasa kuliah, dan kisah layang-layang putih di pemakaman ayah teman saya. Khusus untuk edisi ini pun saya membuat ilustrasi istimewa =)
Atas alasan yang saya tak paham
persis, di tengah isu kenaikan BBM dan berbagai kepentingan yang berserabutan, tiba-tiba
saya justru terkenang Mbak Inem. Ia tak bersekolah. Ia tidak bisa membaca dan
menulis. Namun, dengan caranya sendiri ia menulis banyak hal yang menuntun
langkah saya hingga hari ini. Di usianya yang ke-27, ketika saya duduk di kelas
2 SLTP, ia memutuskan untuk menikah dan pulang ke desa. Kabarnya ia memilih
punya satu anak saja dan mengasuhnya baik-baik supaya “jadi”.
Di mana Mbak Inem sekarang? Saya
tidak tahu pasti.
Apapun yang terjadi dengan
hidupnya, saya tidak khawatir. Ia dapat terbang sendiri meski tak bersayap.
Sebab seperti layang-layang, ia selalu tahu cara mengendarai angin.
Salamatahari, semogaselaluhangat
dan cerah,
Sundea
Komentar
Btw, Si Mbak Inem ini emang top bener dah orangnya. Salah satu Mbak yang gue nggak akan pernah lupa =)