Beberapa waktu yang lalu, saya terjebak dalam perdebatan seputar agama dengan seseorang.
“Kalau kamu masih mikir keyakinan orang lain juga betul, apa istimewanya keyakinan kamu buat kamu?” tanya si orang itu.
“Sederhananya, kayak aku milih jadi penulis. Aku tau dengan yakin panggilan aku di situ, tapi nggak berarti semua orang panggilannya harus itu juga. Mungkin ada yang lebih sukses jadi pedagang atau PNS atau selebriti misalnya.”
“Nggak bisa disamain sama itu.”
“Kenapa enggak?”
Selanjutnya, si orang itu berbicara panjang lebar mengenai agamanya sendiri (yang sebetulnya adalah agama saya juga). Saya mendengarkan sampai selesai, sebelum akhirnya tetap saja tidak setuju.
“Liat tujuan dan esensinya, deh. Sama kok. Itu cuma masalah caranya aja.”
“Bukan masalah cara. Ini kebenaran.”
“Itu bukan kebenaran. Itu namanya fanatik,” saya mulai kesal.
“Bukan fanatik. Ini kebenaran. Ada di kitab kita.”
“Di kitab orang lain juga ada, tapi dari sudut pandang mereka.”
Si orang itu menatap saya dengan penuh kengerian. “Bahaya banget cara kamu ngeliat. Saya akan selalu berdoa supaya kamu kembali kepada kebenaran.”
Saya kesal. Tapi karena sadar pembahasan itu berpotensi menjadi debat kusir yang tak perlu dan melelahkan, saya berusaha memutusnya. “Mungkin kamu mikirnya emang gitu, aku beda lagi. Ya udah ajalah nggak usah dibahas.”
“Nggak bisa gitu ngeliatnya,” lanjut si orang itu. Ia kemudian kembali berbicara panjang lebar tentang agamanya (yang juga agama saya, tapi ternyata saya yakini dengan cara berbeda).
Saya sebetulnya sudah kesal sekali. Si orang itu pun pasti tahu karena raut wajah saya tidak menyembunyikannya. Kendati begitu, ia tetap berbicara dan saya tetap diam saja. Seperti running text, di kepala saya berulang-ulang melintas kalimat ini:
Ternyata “Fanatisme” dan “Fals” itu mirip. Sama-sama “F” yang nggak peduli sama harmoni.
Omong-omong soal “F” saya jadi teringat pada kunci nada F alias bass clef dalam partitur. Ia dilambangkan dengan tanda mirip telinga seperti ini:
Berbeda dengan kunci nada F, fanatisme dan fals tidak bertelinga. Mereka lantang bersuara, namun tak bisa mendengar apa-apa. Saya lalu melirik si orang itu. Ia bicara soal iman. Di dalam hati saya jadi bertanya-tanya apa hak dan kewajiban setiap iman sebetulnya? Sejauh mana ia harus bertanggung jawab dan sampai di mana ia harus tahu diri?
Akhirnya waktu jualah yang memisahkan kami. Si orang itu harus pergi. Sebelum beranjak, ia masih sempat berkata, “Saya akan terus. Terus mendoakan kamu supaya kamu sadar kebenaran itu.”
Saya diam saja seperti tembok ratapan orang Yahudi.
Apa yang saya alami seperti mendengar lagu sumbang. Maka untuk menemukan letak kesumbangannya, saya perlu menerjemahkan lagu tersebut ke dalam partitur. Sebagai pembuka, tentu saja saya membubuhkan kunci nadanya. Sebuah telinga: “kunci F”:
Di dalam tangga nada, wilayah bass clef terletak di bawah garis tengah. Saya rasa sebuah lagu tak dapat dimainkan dalam satu kunci nada saja jika ingin hadir utuh. Maka, saya membubuhkan kunci nada G atau treble clef dalam partitur agar nada-nada dapat bertualang lebih leluasa. Jadilah ia sebuah lagu yang tidak sempit. Treble clef terletak di atas garis tengah. Menurut saya, sesungguhnya kunci nada “G” adalah “God” Himself yang terletak melampaui setiap standar.
Apa yang barusan saya tasirkan ke dalam partitur bukan kebenaran mutlak. Nada adalah bunyi yang abstrak dan merdeka. Tafsir hanyalah cara untuk membuat yang abstrak lebih berwujud, sementara yang abstrak itu sendiri senantiasa utuh sebagai esensi. Lalu esensi? Ia mempunyai kelapangan yang mengagumkan seperti hati yang baik sekali. Sesungguhnya segala tafsir tak pernah kehabisan ruang dalam bentangannya.
Lalu apa itu kebenaran? Menurut saya, sih, itu adalah kelapangan yang tak boleh dimonopoli oleh sebuah definisi saja. Ia terus dicari dan dijawab, namun esensinya terus diyakini untuk memelihara harmoni.
Saya tersenyum. Si orang itu mungkin sedang mendoakan saya. Kalau begitu dia juga saya doakan, deh. Supaya apa? Supaya mangga pisang jambu, dibawa dari Pasar Minggu … *nyanyi*
Apakah kamu pusing ? Saya juga lho …
Sundea
kecuali gambar kresek, gambar dirampok dari www.indraaziz.net
Komentar
Falsnastisme itu sumbang.
Lho, jadi falsnatisme itu murah hati donk?
Jadi bingung ni, dea. :D
-Jess-