Ikan-ikan di dinding
Diam-diam merayap
Datang Anak Beruang …
“DOR!” Anak Beruang mengagetkan seekor ikan yang tengah merayap diam-diam di dinding rumahnya.
Si ikan dinding tampak terkejut. Tapi ia cepat menguasai dirinya kembali. “Kamu ini, ada-ada saja.”
“Aku disuruh Ayah,” kata Anak Beruang.
“Disuruh Ayah Beruang mengagetkan aku? Nggak mungkin.”
“Bukan, bukan disuruh mengagetkan kamu …”
Setahun lalu Ayah Beruang mengunjungi sepupunya yang bekerja di Gelanggang Samudera. Ia memberi Ayah ikan dinding.
“Ikan ini untuk kau pelihara di dinding, bukan di kolam,” pesan sepupu Ayah.
“Apa makanannya?” tanya Ayah Beruang.
“Setiap hari ia hanya makan waktu.”
“Jadi aku harus menyisihkan waktuku untuk ikan ini?”
“Hanya sedikit setiap hari. Tidak akan membuatmu kehabisan waktu.”
“Hmmm,” Ayah Beruang mengangguk-angguk.
“Ini namanya budaya fishwall.”
“Budaya visual?”
“Budaya FISSHHH WALLL. Yah … mungkin dia punya bagian dalam budaya visual but … who cares? Dia adalah budaya fishwall yang makan waktu dan membantumu mengolah waktu. Selamat bersenang-senang dengan peliharaan barumu, ya,” pesan sepupu Ayah Beruang sambil menepuk-nepuk bahu Ayah Beruang.
Sesudah itu, pulanglah Ayah Beruang membawa ikan yang dipelihara di dinding. Anak Beruang menyukai mereka. Sepulang bermain di luar, hampir saban kali Anak Beruang mampir di depan ikan-ikan dinding dan menyapa mereka. Ia senang menonton Ayah memberi makan si ikan. Bunyinya selalu renyah dan menyenangkan: “Wreeek … “
“Jadi Ayah Beruang menyuruhmu apa?” tanya si ikan dinding.
“Ia menyuruhku memberi makan kamu.”
“Oh, baiklah …”
Anak Beruang naik ke atas kursi kemudian memberi makan si ikan dinding “Wreeeekkk …”. Saat itu tanggal 1 Januari 2012. Anak Beruang mendapati bahwa lembar yang dirobeknya adalah lembar terakhir si ikan dinding. Setelah hari itu, ia tak perlu lagi memberi makan si ikan dinding. Tahu-tahu ia merasa sedih.
“Selamat tahun baru, Anak Beruang,” kata ikan dinding.
“Selamat tahun baru,” sahut Anak Beruang sendu.
“Kenapa kamu jadi sedih? Ayo ceria, dong …”
“Sesudah ini kamu tidak bisa dipelihara lagi. Waktumu sudah habis,” kata Anak Beruang.
“Waktumu kan belum habis.”
Anak Beruang diam saja.
Ayah Beruang baru pulang dari rumah sepupunya yang bekerja di Taman Safari. Ia membawa peliharaan baru. “Kata sepupu ayah, ini namanya budaya rhinowall. Makanan dan cara memberi makannya juga sama dengan ikan dinding,” kata Ayah Beruang.
“Lalu si ikan ini bagaimana, Yah? Nggak akan dibuang kan?” tanya Anak Beruang.
Ayah Beruang mengamati gambar ikan lumba-lumba di dinding yang sudah kehabisan waktu. Anak Beruang menatap ayahnya penuh harap. Ia menyayangi ikan itu.
“Tidak. Kita akan memberinya hidup baru. Dia akan kita bingkai dan kita pasang di kamar kamu. Selanjutnya, ikan dinding akan makan waktu dengan caranya sendiri,” kata Ayah Beruang akhirnya.
Anak Beruang berbinar senang.
“Baiklah. Sekarang, kita turunkan dulu si ikan dinding dari sini. Kita ganti dengan budaya rhinowall. Mau bantu Ayah?”
Anak Beruang mengangguk-angguk.
Anak Beruang menurunkan ikan dinding sambil menyanyi-nyanyi dengan geramannya yang khas. Sepupu Ayah betul. Budaya Fishwall mempunyai bagian dalam budaya visual, apalagi setelah nanti si ikan dinding dipasang sebagai penghias kamar Anak Beruang.
Tahun lalu, waktu milik ikan dinding merupakan bagian dari waktu Anak Beruang. Tahun ini mungkin sebaliknya. Tahun mendatang … tidak tahu. Berbagai kemungkinan melayang-layang di antara permainan waktu yang bercabang-cabang.
Saya akan menyudahi segala keliaran ini dengan sebuah lagu. Lagu yang saya gunakan untuk membuka cerita:
Hap!
Tidak tertangkap …
Sundea
Komentar