Menjadi Garuda (Curhat Mabim)

Sila ke dua: Kemanusiaan yang adil dan beradab

-Bandung-Jatinangor, 1 Oktober 2011-

Hari itu adalah Hari Kesaktian Pancasila. Tetapi untuk Dea, siang sampai petang lebih terasa seperti malam G30S PKI. Entah mengapa mabim alias masa bimbingan bagi mahasiswa hampir selalu dibuat mencekam. Selalu ada tiga generasi yang menjadi pemain utama di sana: maba (mahasiswa baru), panitia mabim, dan senior. Di antara ketiganya “terjalin” hubungan politis yang berbau-bau feodalisme.


Tahun ini, Salamatahari datang ke kampus untuk berbagi cerita seputar penulisan kreatif. Menjelang keberangkatan menuju Jatinangor, sempat terjadi drama-drama seputar keterlambatan, konfirmasi, dan kekusutan komunikasi. Singkat cerita, akhirnya datang rombongan sirkus yang menjemput Si Dea di Bandung. Pengemudinya langsung sang ketua mabim.



“Maaf, Teh, tadi harus ngambil mobil dulu, terus di mana-mana macet.”
“Lah … kan gua bilang jemput pake motor juga nggak apa-apa.”
“Kemaren udah dibicarain, tapi ya nggak enaklah, masa’ Teteh dijemput pake motor?” timpal panitia yang lain.
“Ini kan Sabtu. Pasti macetlah. Lagian nggak enakan mana njemput gua pake motor sama kayak begini?”
Kemudian perjalanan Jatinangor-Bandung terasa sedikit mencekam.


Panitia dan Dea tiba pukul 14:30, tepat ketika setting forum berlangsung. Dari lantai tiga, terdengar bentak-bentak yang menggelegar.

“Itu anak Sastra Indonesia?” tanya Dea.
“Iya. Tapi cuma akting, kok, Teh,” sahut sang panitia.

Ketika Dea sampai di lantai tiga, menyergaplah suasana yang tidak menyenangkan. Mahasiswa baru berpingsanan. Panitia tampak tegang.

“Eh, gue pengen complain, nih …”
“Iya, Teh, maaf tadi telat …”
“Bukan masalah telat aja. Gue banyak complain soal mabim ini sebenernya …”
Mata panitia mulai berkaca-kaca.
“Kenapa, sih, kalian seneng banget bikin suasana mencekam?” tanya Dea akhirnya.
“Ini udah lebih lunak daripada taun-taun sebelumnya, Teh.”
“Bukan itu masalahnya. Menurut gue beginian bikin anak-anak dapet takutnya doang. Jadinya kayak kalian gini. Ketakutan untuk hal yang seharusnya kalian nggak takut, tapi malah miss hal-hal yang menurut gue lebih penting.”

Dea menanti setting forum berakhir sambil berjalan-jalan di sekitar koridor. Dulu, waktu Dea masih menjadi seonggok mahasiswa baru dan memprotes tradisi feodal yang dipelihara mabim kampus, seorang teman pernah berkata, “Entar kalo lo akhirnya udah jadi senior, pikiran lo pasti beda.” Ternyata tidak juga. Setelah Dea menjadi kayu lapuk kampus sastra pun sikap Dea tetap sama. Respecting dan intimidated jelas-jelas mempunyai makna yang berbeda.

***

Untungnya, kemelut G30SPKI ala mabim kampus akhirnya berlalu. Dea digiring masuk ke dalam kelas. Meski sempat kagok karena keburu tidak enak hati, akhirnya suasana cair juga. Dea membagi resep penulisan kreatif ala Salamatahari: “Kata kuncinya adalah ‘bermain’. Jadi menulis itu bersenang-senang.”


Setelah materi diberikan, maba diajak duduk melingkar dan menulis dua kata pertama di buku mereka: ‘Burung Garuda’. Selanjutnya, mereka diajak menulis secara berantai. Cerita mereka diteruskan oleh teman sebelahnya lalu sebelahnya lagi dan begitu seterusnya hingga akhirnya kembali ke tangan mereka. Berikut ini adalah cuplikan tulisan Nunin feat. teman-temannya:

Burung garuda. Gagah bertengger perkasa di bumi ibu pertiwi. Pertiwi adalah anak Pak Jamal, Bapak RT 05. Pak RT Siapa? RT kampung sebelah yang kehilangan burung! Oh tidak … Pak RT pun kebingungan karena burung satu-satunya hilang. Bagaimana ia bisa bertahan hidup …?

Karena kesediaannya membagi kisah pada teman-teman sekelas, Nunin mendapat hadiah Salamatahari #2.


Tepat pukul 16:00, Si Dea harus pulang. Dea sudah ditunggu oleh Abdel dan Temon di rumah makan setempat.

“Jangan kapok, ya, Teh,” pesan panitia ketika mengantar Dea bertemu Abdel dan Temon.
“Enggak, kok. Untung akhirnya lancar, seneng juga. Anak-anaknya kayaknya emang suka nulis, ya …”
“Iya, Teh, anak-anak angkatan sekarang emang kritis-kritis …”


Dea lalu teringat masa-masa awal kuliah dulu. Mahasiswa baru datang dengan kepala jernih dan bersih. Lalu datang pengaruh dari kiri dan kanan, “Kalian jangan begini, nanti senior marah. Kalian jangan begitu, senior yang biasanya baik, di lapangan bisa beda banget.” Tiba-tiba keakraban jadi tertahan.

Ketika Dea menjadi panitia mabim, isu yang beredar lebih gawat lagi. Kami para panitia dikondisikan untuk memperlakukan senior seperti singa tidur. Senior dianggap dapat menerkam sewaktu-waktu dan perlu diintai dengan waspada penuh kecurigaan.

Apa betul senior semengerikan itu? Entah, ya. Yang pasti, setelah berada di posisi ‘senior’, Dea tahu segala hal memparanoidkan itu hanya legenda. Sama seperti isu PKI yang menimbulkan huru-hara sampai bergenerasi-generasi. Apakah perlu?

Burung garuda bertengger di kelas-kelas. Diapit foto presiden dan wakilnya, dipercaya sebagai lambang negara yang sakti.

Garuda-garuda kecil Sastra Indonesia, jika kamu ingin menjadi sakti, terbanglah raya meninggalkan kelas sekali-sekali. Kenali dunia dengan matamu, bukan dari legenda.

Di sastra kita menuliskan. Karenanya, tuliskan segala cerita versi dirimu sendiri …


Sundea

Komentar