Kentongan

semacam review lagu “Maling”
Running chord ala lagu Benyamin. S di tahun 70an merasuk. Sayup-sayup saya mendengarnya, tapi saya terlalu mengantuk untuk mencermatinya lebih jauh lagi hingga …

KROMPYANG, GLUNDANG, JESTANG …. !

… dan saya terlonjak. Apa itu ?!

Lihat ke sana kemari seperti ada yang dicari
Jalan mengendap-endap bahkan kadang tiarap


Mengendap-endap apaan? Suaranya jelas-jelas membuat saya terbangun kaget. Ketika itu dini hari dan bukan malam tahun baru. Sudah sewajarnya orang-orang tidur atau menjaga kenyamanan orang yang sedang tidur.

“Hei, di situ siapa? Lihat nggak ini jam berapa?! ” seru saya dari dalam kamar.

Bukannya mereda, si entah siapa itu justru melanjutkan dengan suara gitar listrik dan drum yang lebih intens dan tentunya membuat saya semakin tak bisa tidur.

tak peduli rumah Pak RT ataupun Pak RW
walau perut keroncongan yang penting ada pemasukan

“Ini bukan rumah Pak RT atau Pak RW, lho …,” seru saya lagi. Saya duduk tegak di atas tempat tidur dengan sikap waspada. Mendadak perasaan saya tidak enak. Yang biasanya mencari pemasukan pada jam-jam segini hanyalah …

Maleeeeng … !!!! Maleeeeng !!!!

Kali itu saya betul-betul terlonjak, turun dari tempat tidur saya. Buru-buru saya mengunci semua pintu sementara si entah siapa itu masih berseru-seru semakin kencang, bahkan diikuti oleh seluruh masyarakat,

Tolong Pak Polisi, ada maling di sini, tolong Pak Polisi, ada maling di sini !

Saya duduk di sisi jendela sambil mengintip si entah siapa dan seluruh masyarakat. Karena sudah mendapatkan kesadaran saya secara utuh, saya dapat memperhatikan si entah siapa itu secara lebih saksama. Fungsinya seperti kentongan. Ia adalah tanda bahaya yang bernada. Ribut dini hari yang biasanya big no no justru harus dilakukannya pada situasi seperti itu. Saya malah jadi merasa berterima kasih.

Ketika ujung sarung si maling menyembul dari balik semak, diikuti masayarakat, si entah siapa menghentikan melodi tapi berbisik-bisik sangat intens,

Tolong Pak Polisi, ada maling di sini, tolong Pak Polisi, ada maling di sini …

Lalu saat si maling muncul dari antara semak, ia dan masyarakat mengejarnya sambil berteriak-teriak lagi,

Maleeeng … maleeeng … !!!

Seruannya seperti pemicu adrenalin yang membuat masyarakat (dan mungkin maling itu sendiri) dapat berlari lebih kencang. Mereka kemudian menghilang di balik gang. Saya berusaha mengintip-intip dari balik jendela.

“Hei!”
“WHUUAAAA !!!”

Si entah siapa itu tiba-tiba saja muncul di jendela samping, membuat saya terkejut setengah mati.

“Bukannya kamu lari-lari mengejar maling sama masyarakat itu tadi, ya?” tanya saya.
“Saya kan kentongan, Dea, kentongan hanya tanda bahaya. Mereka tidak ikut berlari mengejar maling.”
“Oh, begitu, ya. Siapa nama kamu?”
Maling –tapi bukan pencurinya – saya adalah hasil karya Protocol Afro.”
“Terima kasih,ya, Maling, tadinya Dea mau marah-marah sama kamu karena ribut jam segini. Tapi ternyata kamu malah menyelamatkan kami semua.”
“Sudah tugas saya,” sahut Maling rendah hati. Kali itu ia terdengar tenang sekali.
“Mau minum kopi dulu di rumah Dea? Ada kue, lho …”
“Tidak terima kasih, saya kembali ke pos ronda, ya …”

Setelah Maling kembali ke pos ronda, saya tidak bisa tidur lagi. Tapi saya tidak marah. Ternyata, untuk alasan-alasan tertentu, kita justru bersyukur tidur kita diganggu.

Dini hari itu kembali sunyi. Suara jangkrik kembali mendominasi. Di ujung gang maling dan masyarakat menghilang. Semoga hari itu tak terjadi tindakan main hakim sendiri ….

Sundea

protoafro Protocol Afro adalah band alternatif post punk indie Jakarta yang dibentuk pada tahun 2007 untuk mengikuti Kulturfest (sebuah festival seni). Salah satu lagu mereka, Radio sempat menjadi lagu indie no.1 di sebuah radio lokal Jakarta. Band ini beranggotakan Mayo Fallmonti (bass), Gyano Valentino (gitar), Dito Utama (vokal), dan Kristian Harahap (drum). Tema-tema lagunya tidak biasa, lho. Kunjungi mereka di http://www.myspace.com/protocolafro dan dengarkan lagu Maling yang Dea review di sini ;)

Komentar