Nazar U Did Bukan Nazarudin

-Common Room, Sabtu 13 Agustus 2011-

“Ke mana kita akan pergi?” tanya kaki kiri Ginan
“Ke Jakarta,” sahut kaki kanan Ginan.
“Kita tidak dibantu roda mobil atau apa?”
“Tidak. Makanya kita harus kompak, ya …”


Pada tanggal 6 Agustus 2011 pagi, Ginan memulai langkahnya. Ia bernazar untuk menempuh jarak Bandung-Jakarta yang 180 km itu jika berhasil berangkat untuk Homeless World Cup 2011. Ternyata Tuhan mencatat janjinya.

“Sebentar lagi kita main bola di Paris. Ginan dapat sponsor untuk ikut Homeless World Cup tanggal 21-28 Agustus nanti!” sorak kaki kiri sambil berjalan menjajari kaki kanan.
“Ah, iya. Seru sekali, ya? Ginan sendiri pasti tak menyangka,” sambut kaki kanan.

Ginan Koesmayadi adalah penderita HIV Positif yang bekerja di Rumah Cemara, sebuah organisasi berbasis komunitas yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup penderita HIV serta pengguna narkotika dan zat adiktif. Ia dan tujuh teman seperjuangannya bergabung dalam sebuah tim sepak bola.


Sejak setahun yang lalu, mereka bercita-cita mengikuti Homeless World Cup, turnamen sepak bola kelas dunia yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup para tunawisma.

Melalui jalur-jalur formal, tim Ginan tak berhasil memperoleh sponsorship. Sokongan justru datang dari jamu Sido Muncul ketika mereka tak banyak berharap. Kegembiraan, rasa syukur, dan kesetiaan pada janji membawa Ginan menempuh perjalanan kaki Bandung-Jakarta selama tiga hari.



“Waktu jalan ngomong sesuatu nggak, Mas, sama kaki-kakinya?” tanya saya.
“Ngomong. Cepet sembuh, cepet sembuh,” sahut Ginan.
“Terus kakinya bilang apa?”
“Iya iya aja.”

Menurut Ginan, sepanjang berjalan, ada tiga tahap metamorfosa yang dihadapinya. Ia berangkat sebagai unta dengan beban tanggung jawab di punggungnya. Selanjutnya, ia menjelma menjadi singa. “Waktu sampai di Cikole dan udah mulai sakit-sakit, saya masukin nilai-nilai hardcore. Singa kan penuh kebanggaan untuk bisa. Jadi saya bilang sama diri saya sendiri, ‘no pain no gain’, ‘kesakitan berbuah keberhasilan’, dan seterusnya,” cerita Ginan.

Hingga di suatu titik, lelah tak lagi bisa disangkal. Sugesti-sugestinya tak lagi berhasil memberi pengaruh. Di sana Ginan belajar bahwa rasa sakit dan lelah adalah realita, ia memutuskan untuk berjalan saja dan berterima.

“Aku malas belok,” keluh kaki kanan begitu mereka tiba di Ciranjang.
“Aduh, gimana, dong? Kita harus belok. Ada tai di depan, lho,” kaki kiri memperingatkan.
Kaki kanan tidak menyahut. Ia terlalu lelah.
Tetapi kaki-kaki adalah pasangan yang kerap mencapai kesepahaman dengan sendirinya. Akhirnya kaki kiri rela bergerak menginjak tai tanpa mengeluh. Dibiarkannya kaki kanan beristirahat sejenak agar mereka berdua dapat sama-sama menopang tubuh Ginan dan mengantarnya sampai ke Jakarta.
Kedua kaki berhasil. Ginan tiba dengan selamat pada tanggal 8 Agustus. Mencapai tahap metamorfosis terakhir yaitu menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan.

“Sebesar-besarnya kuasa adalah bagaimana kita bisa menguasai diri sendiri,” ungkap Ginan tanpa keangkuhan sedikitpun. Ia percaya tubuh adalah semesta yang bekerja sama dengan semesta di luar dirinya; saling berbagi energi; saling menjaga. Karenanya, sesungguhnya hidup itu adil adanya.


“Saya senang bisa diterima sebagai Ginan saja, Ginan apa adanya,” ucapnya ketika berbicara mengenai Rumah Cemara, “Itu lebih berharga daripada apapun.”

Setelah Ginan selesai bercerita kepada khalayak Common Room sore itu, saya memotret kaki Ginan.
“Kenapa kamu tertarik sekali sama kaki saya?” tanya Ginan.
“Karena it takes two to tango,” sahut saya sambil tersenyum lebar.

Ketika Ginan sudah berdiri, diam-diam saya berpesan pada kaki-kakinya yang telah dijaga sepatu,

“Kaki-kaki, selamat menari di lapangan hijau. Semoga kalian dapat terus memijak bumi dengan kerendahan hati dan menopang Ginan dengan gagah berani …”


Sundea

Kunjungi Rumah Cemara di

Komentar