-CCF Bandung, Selasa, 19 Juli 2011-
Pameran Jakarta-Bandung PP
Petang itu auditorium CCF Bandung hening. Karya sepuluh orang seniman dari Jakarta dan Bandung terpasang takzim dan sunyi. Bertajuk “Jakarta-Bandung PP”, ruang pamer tersebut tak terasa seperti Bandung, pun Jakarta. Mungkin ia lebih mirip ruang kontemplasi yang merentang di antara jarak tempuh keduanya.
Sepertinya setiap seniman menginterpretasikan jarak ini sesuai pengalaman personalnya masing-masing. Ageng Purna Galih yang seorang fotografer Bandung, membuat semacam majalah dinding digital print bertajuk “Road Trip Fiction”. Teks di kertas merupakan susunan huruf yang tidak bermakna. Tetapi foto yang biasanya berfungsi melengkapi teks justru memberikan ruang seluas-luasnya untuk kita baca. Foto ini misalnya. Coba kamu eja dengan teliti …
Lain lagi Andi Rharharha, street artist Jakarta dengan seni tape art (lakban)-nya. Teks hadir sebagai sesuatu yang terbaca apa adanya. Ungkapannya pun terkesan nakal dan cablak. Ini misalnya:
Salah satu karya instalasi yang juga menarik perhatian adalah “There’s a Light Never Goes Out” garapan Ritchie Ned Hansel dari Jakarta. Di atas sebuah meja beroda, neon bertuliskan “Trap” terkerangkeng dalam sarang berperingatan “Danger Do Not Touch! High Voltage Electricity”. Tak hanya itu, sang lampu masih dikepung oleh empat kursi hitam yang menatapnya secara intimidatif. Karya yang satu ini membuat hati saya sedikit sedih. Entah bagaimana, kadang-kadang tulisan “Trap” menjelma menjadi “Help” dalam pengelihatan saya.
“Saya menganggap Bandung tempat mencari kehidupan dan Jakarta tempat mencari penghidupan,” tulis Ifan Ismail dalam pengantar pameran. Saya jadi teringat pada cuplikan lirik Lenggang Jakarta yang dipopulerkan oleh Andi Meriam Matalata bertahun-tahun silam,
Ribuan mimpi-mimpi ada
Menggoda mereka
Jangankan cari surga dunia
Neraka dunia pun ada
Menggoda mereka
Jangankan cari surga dunia
Neraka dunia pun ada
Berbondong-bondong orang-orang datang ke Jakarta untuk mengejar mimpinya, termasuk orang-orang dari Bandung. Tetapi kini warga Jakarta balik memadati Bandung untuk tidur dan bermimpi dalam arti yang lain. Setelah melewati hari-hari yang lelah dan menegangkan di ibukota, mereka mencari tempat menikmati hidup. Tol Cipularang memangkas waktu dan jarak di antara kedua kota ini. Bandung memfasilitasi kerinduan masyarakat dengan berbagai wisata belanja. Kemudian di kedua kota itu, mungkin orang-orang jadi asyik bermimpi.
Lalu keterjagaan serta kesadaran terselip pada perjalanan singkat melintasi aspal abu-abu yang kering dan sepi di sepanjang tol Cipularang. Takzim dan kontemplatif seperti karya-karya seniman Bandung-Jakarta yang diam pada 18 Juli hingga 30 Juli 2011 mendatang di Jalan Purnawarman no.32, Bandung.
“Jakarta dan Bandung saat itu adalah fenomena yang cukup umum: dua buah kota pada jarak yang pas untuk bisa mempertahankan karakter masing-masing, seperti pasangan Surabaya-Malang atau Jogja-Solo,” ungkap Ifan Ismail mengenai jarak Jakarta-Bandung sebelum hadirnya tol Cipularang.
Untuk hal ini, saya punya pendapat lain. Sebetulnya kehadiran Cipularang tidak akan mencuri apa-apa dalam jarak tempuh. Persoalannya hanyalah quality time ;)
Sundea
Komentar