"Katak dalam tempurung”
Semoga kamu suka hadiahnya, Anak Beruang.
Salam,
Peri Bahasa
“Wow! Aku dapat hadiah dari peri!” sorak Anak Beruang setelah Ibu Beruang membacakan isi secarik kertas yang didapati di atas tempurung. “Kapan datangnya, Bu? Kapan? Kapan? Kapan?” Anak Beruang tak dapat menutupi kegirangannya. “Ibu juga tidak tahu,” sahut Ibu Beruang sambil melipat kertas yang baru dibacakannya, “Ketika Ibu membuka jendela tadi pagi-pagi sekali, tempurung dan suratnya sudah ada di situ.”
Ibu Beruang meninggalkan Anak Beruang bersama hadiahnya. Seperti ibu-ibu pada umumnya, pagi adalah saat yang sibuk untuknya. Anak Beruang berjongkok di dekat tempurung, mengetuk-ngetuk permukaannya dan …
“GREBET!!!”
Anak Beruang terlonjak kaget.
“Anak Beruang, aku Katak Dalam Tempurung,” suara dari dalam tempurung terdengar stereo.
“Ah, iya. Halo Katak Dalam Tempurung,” sahut Anak Beruang.
“Halo juga …”
“Aku senang sekali karena pagi-pagi sudah mendapat hadiah dari peri.”
Sebentar saja Anak Beruang dan Katak Dalam Tempurung menjadi akrab. Obrolan mereka tidak terbatas, meski pandangan mereka terhalang tempurung.
“Kenapa kamu harus ada di dalam tempurung ini?” tanya Anak Beruang.
“Aku tidak tahu. Peri Bahasa yang menelungkupkan tempurung ini kepadaku.”
“Memangnya kamu tidak pernah tanya kenapa?”
“Ngg … tidak. Aku pikir semua katak memang harus hidup di dalam tempurung.”
“Katak biasanya hidup di dekat danau, Katak Dalam Tempurung, biasanya mereka melompat-lompat sambil bernyanyi.”
“Begitu, ya? Aku sama sekali tidak tahu. Di dalam sini gelap dan sempit. Aku tidak tahu apa-apa, bahkan wujudku sendiri pun aku tak tahu.”
“Ya ampun …”
“Anak Beruang, bagaimana jika aku ternyata bukan katak?”
“Kamu pasti katak.”
“Tahu dari mana?”
“Teman percaya padamu, bahkan ketika kamu tidak mempercayai dirimu sendiri,” sahut Anak Beruang sambil mengusap-usap permukaan tempurung.
Hingga siang, Anak Beruang dan Katak Dalam Tempurung masih asyik bermain. Katak Dalam Tempurung bercerita bagaimana ia mengais tanah di bawah tempurung untuk mencari makanan dan minuman. Ia juga meniru suara binatang yang sering didengarnya dari dalam tempurung, kemudian Anak Beruang menceritakan bentuknya. Telinga Katak Dalam Tempurung sangat peka. “Itu karena aku hanya tergantung pada satu indera,” ujar Katak Dalam Tempurung .
Langit menjadi kelabu. Petir membelah angkasa dan BLARRR ! Sosok kuning dan hitam terlontar bersama bunyi menggelegar. Anak Beruang ketakutan. Katak Dalam Tempurung menjadi gelisah. Dengan segera Anak Beruang memeluk tempurung katak agar temannya itu merasa lebih aman.
“Jangan takut! Aku adalah Peri. Namaku Peri Ngatan!” kata sosok kuning dan hitam itu dengan suara bulat seperti narator sandiwara silat di radio.
“Kamu mau apa, Peri Ngatan ?” tanya Anak Beruang sambil masih mendekap tempurung katak.
“Aku ingin memperingatkan kepadamu Hei Anak Beruang, untuk segera membebaskan katak dari tempurungnya.”
“Nanti dia bukan Katak Dalam Tempurung lagi, dong?”
“Memang itu tujuannya.”
Sebelum Anak Beruang sempat bertanya lagi, langit mendadak gulita. Hujan mulai merintik. Peri Ngatan meleleh bersamanya, jatuh entah ke mana. Anak Beruang mendekap Katak Dalam Tempurung semakin erat, mempertimbangkan kata-kata Peri Ngatan yang muncul begitu tiba-tiba.
Hujan kian lebat. Anak Beruang basah kuyub. Deras yang berusaha menimpa suara-suara yang lainnya membuat Anak Beruang harus berbicara sangat dekat ke tempurung agar suaranya terdegar oleh Katak.
“Katak Dalam Tempurung, kamu mau aku bebaskan?”
“Aku mau. Tapi aku takut. Tapi aku mau. Iya, Anak Beruang, aku mau.”
“Bagaimana jika kamu ternyata takut kepadaku? Aku besar, berbulu, bercakar, dan bergigi tajam …”
“Aku tidak akan takut kepadamu.”
“Tahu dari mana?”
“Teman percaya padamu, bahkan ketika kamu tidak mempercayai dirimu sendiri …”
Anak Beruang tahu ia memang harus membebaskan Katak Dalam Tempurung. Katak menyukai hujan dan itu adalah saat terbaik untuk melepaskannya.
Maka, Anak Beruang mengangkat tempurung katak dan …
“Betul kan aku tidak takut padamu?” kata Katak begitu melihat Anak Beruang.
“Betul kan kamu memang katak?” sahut Anak Beruang.
Keduanya tertawa berderai.
“Beberapa lompatan dari sini ada danau, Katak, di sana ada katak-katak lainnya. Kamu bisa belajar menjadi katak di luar tempurung dari mereka,” kata Anak Beruang.
“Terima kasih, ya, Anak Beruang, sampai bertemu lagi …”
Katak Dalam Tempurung yang telah menjadi Katak di Luar Tempurung melompat-lompat agak wagu. Ia yang tak pernah mengenal udara bebas sebelumnya harus belajar menyesuaikan diri. Anak Beruang mengamatinya hingga ia tak terlihat lagi, lalu masuk ke dalam rumah untuk mandi air hangat.
***
Pada suatu pagi, ketika Anak Beruang hendak mengambil topinya yang sedang dijemur, seekor katak menyembul dari baliknya.
“Hei! Katak! Apa kabar ?” sambut Anak Beruang riang.
“Baik, baik sekali. Ternyata menjadi Katak di Luar Tempurung jauh lebih menyenangkan,” sahut Katak tak kalah riang.
“Aku senang mendengarnya.”
“Aku ke sini membawa surat buat kamu dari Peri Bahasa. Sini kubacakan, ya …”
“Selapik seketiduran, sebantal sekalang hulu”
Artinya adalah berteman karib.
Semoga kalian selalu akrab, Anak-anak
Salam,
Peri Bahasa.
“Peri Bahasa selalu memberi hadiah menyenangkan,” kata Anak Beruang.
“Untukku juga. Aku adalah hadiah yang diberi hadiah sahabat, hahahaha,” tanggap Katak.
Pagi itu, Katak melompat tinggi sekali. Hukum alam mengajarinya, persahabatan menguatkan tolakan kakinya …
Sundea
Artwork: Aldriana Amir (Dian) ilustrator lepas, penyuka morris mini, pensil, buku cerita, krayon warna abu-abu, dan es krim rasa stroberi. Dian membuat gambar katak dan Anak Beruang ini persis ketika Dea sedang menulis kisah Katak Dalam Tempurung. Padahal sebelumnya kami tak pernah mengobrol apa-apa soal cerita ini. Believe me, magical things do exist.
Kunjungi Dian di http://gambarnyaaldriana.blogspot.com/
Komentar
Thx Dea \(^_^)/
kalo nanti kamu ketemu Peri Ngatan, salam ya, bilangin aku jg mau hadiah! :P
Salam balik dari Peri Ngatan. Coba cek, mungkin hadiahnya udah dianter tapi disembunyiin di sekitar kamu =)
Kita bikin apa, ya, Di ;)