Anak Beruang adalah beruang kecil yang suka sekali berlari-lari mengikuti apapun yang ia sukai. Kadang ia tersesat di tengah hutan, tapi jalan pulang selalu menemukannya. Kadang ia tertusuk duri, tapi luka tak pernah bisa melumpuhkannya. Anak Beruang tak pernah takut berlari lagi dan lagi dan lagi. Meski Ibu Beruang selalu melarangnya bermain jauh dan jauh dan jauh.
Hari itu, ketika Ibu Beruang menjemur pakaian, Anak Beruang tertarik pada angin yang meniup-niup ujung celemek yang dijemur Ibu Beruang.
“Aku mau mengejar angin!” seru Anak Beruang tiba-tiba.
“Nak, tahu kamu apa itu sia-sia ?” tanya Ibu Beruang.
“Tahu.”
“Jadi jangan coba-coba mengejar angin!”
Anak Beruang tak memahami hubungan “sia-sia” dan “jangan coba-coba mengejar angin”. Tapi karena menurutnya itu tidak penting, setelah Ibu Beruang masuk ke dalam rumah, Anak Beruang mulai mencari tahu ke mana angin akan berlari.
Angin tidak terlihat, tapi mudah dirasakan. Angin juga tak pandai bersembunyi, ia tak pintar menyimpan rahasianya sendiri. Kali itu, misalnya, dengan mudah Anak Beruang menemukan angin yang bergerak dari celemek menuju bunga cantik yang berayun-ayun di bawah pohon besar. Dari situ, dengan ceroboh angin menabrak daun yang baru ranggas dari pohon. Daun tidak jadi menyentuh tanah, malah dibawa angin terbang menuju utara. Dengan begitu Anak Beruang malah lebih mudah menuturinya.
Anak Beruang terus berlari dan berlari dan berlari, masuk semakin jauh dan jauh dan jauh ke dalam hutan. Benda-benda bergantian menjadi petunjuk ke mana angin berlari. Dan Anak Beruang terus mengikuti tanpa tahu di mana angin nantinya akan berhenti. Akhirnya Anak Beruang merasa lelah. Ia duduk di atas batu, dekat Anak Sungai yang mengalir dan bergemericik.
Anak sungai selalu bergerak karena keinginannya sendiri. Meski angin mungkin ada di sana, ia tak pernah bisa menentukan ke mana Anak Sungai harus mengalir.
“Anak Beruang, tahu kamu apa itu sia-sia ?” tanya Anak Sungai
“Tahu.”
“Jadi jangan coba-coba mengejar angin,” kata Anak Sungai, persis seperti Ibu Beruang.
“Apa hubungan ‘sia-sia’ dan ‘jangan coba-coba mengejar angin’ ?” tanya Anak Beruang.
“Setelah berlari-lari sampai sejauh ini kamu masih belum mengerti juga ?”
Anak Beruang menggeleng.
“Aku pikir kamu beruang kecil yang pintar. Coba lihat. Kamu tidak akan pernah berhasil menangkap angin!”
“Sejak pertama kali mengejar angin, aku sudah menangkapnya, Anak Sungai. Dan dia menangkap aku.”
“Lalu kenapa kamu masih harus berlari-lari mengejarnya ?”
“Justru karena aku sudah menangkapnya, dan ia sudah menangkap aku. Aku pikir kamu Anak Sungai yang pintar. Masa’ tidak mengerti ?”
Tak ada yang sia-sia jika kamu tahu hukum tangkap menangkap yang sesungguhnya. Kebiasaan berlari-lari mengikuti apapun membuat Anak Beruang mengerti; kita berhak menyimpan yang boleh disimpan, tetapi wajib membebaskan yang seharusnya tetap bebas.
Anak Sungai tidak mengerti. Tetapi karena menurutnya celoteh Anak Beruang tidak terlalu penting, ia tidak banyak bertanya lagi.
“Sudahlah. Kamu lelah kan Anak Beruang ?”
Anak Beruang mengangguk.
“Celupkan kakimu pada alirku.”
Air Anak Sungai nyaman dan sejuk, Anak Beruang merasa nyaman dibelai lembutnya. Ikan-ikan kecil menggelitiki kaki Anak Beruang. Kerikil di dasar Anak Sungai memijat telapak kaki Anak Beruang. Kelelahan Anak Beruang larut di sana, mengalir bersama aliran Anak Sungai yang bergemericik tenang tetapi penuh keyakinan.
Anak Beruang tidak berlari ke mana-mana. Kali itu, Anak Sungailah yang berlari …
Sundea
Model: Clayton Nugroho
Buat Rie-Yanti yang kemaren-kemaren ini bikin cerita tentang angin dan bunga ^_^
Komentar