Ketika Anak Beruang sedang duduk-duduk di bawah pohon, tiba-tiba anak lain melesat sangat cepat. Menancap di pohon.
Anak Beruang terlonjak.
“Kamu kaget, ya?” tanya anak itu.
“Ya iyalah!”
“Aku Anak Panah. Kamu … ?”
“Aku Anak Beruang.”
Anak Panah adalah anak yang pemberani. Ia melenting di udara, melintasi pohon tinggi, dan tak segan menghalau burung-burung yang menghalanginya. Tubuhnya kurus tetapi tangguh. Kepalanya besi tajam. Di ekornya, ada bulu cantik yang berfungsi menjaga keseimbangan. Anak Beruang menggosok-gosokkan hidungnya ke bulu-bulu yang menyenangkan itu.
“Heh! Kamu sedang apa?!” hardik Anak Panah.
“Galak amat, sih ? Aku kan cuma mau mengajak kamu main.”
“Aku ke sini bukan untuk main-main, tahu. Aku disuruh Ibu menancapkan kertas ini di pohon!”
“Kertas ? Kertas apa ?”
Anak Beruang mengamati kertas yang dibawa Anak Panah dan saat itu telah tertancap bersamanya di pohon. Tulisannya besar-besar. Tetapi karena Anak Beruang belum lancar membaca, ia tak tahu apa isinya. Di kertas itu pun terpampang gambar laki-laki gagah bermata tajam.
“Ini siapa ?” tanya Anak Beruang sambil menunjuk gambar laki-laki tersebut.
“Seseorang yang hebat. Rakyat kecil di sekitar hutan menyukainya.”
“Wow! Jadi ini poster konser ? Dia mau menyanyi di mana, Anak Panah ? Kapan ?
“Ini bukan poster konser, tahu! Ini pengumuman! Orang ini sedang dicari-cari polisi!”
“Oh … kenapa ?”
“Karena dia mencuri. Tetapi ada kalanya orang mencuri untuk kebaikan agar hidup bergulir dengan seimbang.”
“Aku tidak mengerti.”
“Kamu tidak akan mengerti! Kerjamu kan main-main saja. Ini memang tidak sederhana!”
“Kenapa, sih, kamu galak amat ? Kalau masih anak-anak jangan suka marah-marah, nanti cepat tua, lho.”
Anak Panah adalah anak yang serius. Anak Beruang tak bisa mengajaknya bermain apapun. Tetapi pada akhirnya Anak Beruang memutuskan untuk tetap duduk di bawah pohon dan mendengarkan ceritanya karena Anak Beruang suka mendengar cerita.
“Sebetulnya pria pemberani ini adalah sahabat ibuku. Tetapi ibuku bekerja pada polisi. Jadi, ibu harus mengantar-antar selebaran ini, membantu polisi menangkap si pria pemberani sambil berdoa untuk keselamatannya. Situasinya sungguh membingungkan, ya ?” papar Anak Panah yang masih menancap kaku di pohon.
“Kenapa ibumu mau ?” tanya Anak Beruang sambil meronce bunga. Anak Beruang suka sekali memilih bunga aneka warna yang bertebaran di sekitar pohon untuk dironce dan dijadikan kalung.
“Karena ada sistem yang tak selalu dapat dimengerti oleh anak-anak, termasuk Anak Panah seperti aku. Tetapi aku dan saudara-saudaraku harus terlibat dalam sistem itu. Ibu mendidik kami untuk menjadi anak-anak yang berani dan bisa membela diri. Ibu mengajarkan kami untuk mengambil langkah mundur sekian senti untuk maju melenting lebih jauh. Setelah itu ibu melepaskan kami. Mempercayakan kami kepada sistem yang lebih adil. Sistem semesta. Gravitasi.”
Anak Panah juga bercerita tentang petualangannya, ibu, dan saudara-saudaranya bersama si pria pemberani. Dulu mereka sering masuk ke istana dan rumah-rumah mewah, mencuri untuk kesejahteraan rakyat kecil, melawan ketidakadilan, hingga pada suatu kali mereka tertangkap. Ibu dan anak-anak panah disita polisi, tetapi pria pemberani itu berhasil meloloskan diri.
“Sejak itulah ibuku harus bekerja pada polisi. Meski begitu, jauh di dalam hati ia tak pernah berhenti mendukung sahabatnya,” Anak Panah menutup kisahnya. Anak Beruang pun telah selesai meronce bunga dan menutupnya dengan simpul yang sangat kuat.
“Anak Panah, apa kamu akan pulang kepada Ibu Panah suatu saat nanti ?” tanya Anak Beruang.
“Aku tidak tahu.”
“Apakah Ibu Panah akan pulang kepada pria pemberani itu suatu saat nanti ?”
“Aku tidak tahu. Dan satu lagi, ibuku bukan ‘Bu Panah’. Namanya ‘SUR’. Busur.”
Senja turun seperti bidadari. Langit menjadi jingga dan teduh. Lembayung melengkung di ujung barat, bersiap melepaskan anak-anaknya, bintang-bintang, untuk melenting ke langit. Ternyata ia dan Busur mempunyai kesamaan. Anak Beruang tersenyum.
“Anak Panah, kamu masih mau di sini?” tanya Anak Beruang.
“Ya.”
“Aku harus pulang. Tapi aku punya hadiah untuk kamu…”
Anak Beruang mengalungkan bunga yang dironcenya sepanjang siang, “Terima kasih ceritanya, Anak Panah, jangan marah-marah lagi, ya ... “
Seperti Busur, lembayung mempercayakan anak-anak yang dilemparnya kepada kearifan sistem semesta. Ia sendiri luruh menjadi ungu tua yang gelap. Lalu terbit bintang-bintang menjadi cahaya kecil yang cerlang. Saat itu hati Anak Beruang jadi mengerti apa itu sistem dan mengapa setiap makhluk harus belajar berdamai dengan permainannya.
Gelap menelan Anak Panah dari pengelihatan Anak Beruang. Tetapi harum bunga yang tertiup angin terlalu halus untuk ditelan oleh cahaya …
Sundea
Buat Ayah Ricky Arnold yang pada suatu hari “meracuni” Dea dengan lirik-lirik Melancholic Bitch.
Komentar