Selamat Datang di Taman Binatang


Tak jauh dari hutan, dibangun Taman Binatang. Iya, Taman Binatang, bukan Kebun Binatang, ini bukan salah tulis.

“Apa beda Taman Binatang dan Kebun Binatang ?” tanya Anak Beruang pada Anak Manusia.
Anak Manusia angkat bahu.
“Hari libur ini main ke sana, yuk,” ajak Anak Beruang.
Anak Manusia mengangguk setuju.

Maka pada hari libur Anak Beruang dan Anak Manusia berkunjung ke Taman Binatang. Anak Beruang berangkat dengan sepeda roda satu, Anak Manusia berangkat dengan sepeda roda dua. 

Ternyata Taman Binatang adalah lahan rimbun yang dikelilingi pagar kawat. Anak Beruang dan Anak Manusia sempat kebingungan mencari pintu masuk, hingga seorang bapak bercelana pangsi dan Bang Anjing yang kurus tapi berwibawa menghampiri mereka.





“Cari siapa, ya ?” tanya Bang Anjing.
“Ini Taman Binatang, bukan ?” Anak Beruang balik bertanya.
“Betul. Kamu mau dibudidayakan ?”
“Bukaaaaan … aku dan temanku, Anak Manusia, mau lihat-lihat. Kami kira ini tempat hiburan seperti Kebun Binatang …”

Bang Anjing menggonggong satu kali. Bapak bercelana pangsi mengangguk-angguk. Akhirnya Bang Anjing membawa Anak Beruang dan Anak Manusia memasuki Taman Binatang melalui sebuah gerbang.

Taman Binatang sama sekali tak seperti Kebun Binatang. Tak ada pedagang kacang dan minuman. Tak ada pula kandang ataupun museum. Di sana hanya ada pohon-pohon berbuah binatang, misalnya pohon besar dengan kepala singa menggantung-gantung. Sesekali tampak pula kepala dan buntut binatang menyembul dari sela-sela tanah gembur. Ada kepala kelinci, kepala landak, dan buntut tikus yang panjang. Anak Beruang merasa ngeri. Ia melirik Anak Manusia yang hanya bisa mengangkat bahu.

“Seharusnya tempat inilah yang dinamai Kebun Binatang,” jelas Bang Anjing.
“Apa beda Taman dan Kebun Binatang ?” tanya Anak Beruang dengan suara tegang.
“DI kebun, kita menanam sesuatu untuk dibudidayakan secara luas. Sementara di taman, budi daya lebih dipusatkan untuk keindahan dan hiburan, seperti di Kebun Binatang yang seharusnya bernama Taman Binatang itu …”
“Kalau kalian mau membudidayakan binatang, harusnya kalian membuat peternakan,” kata Anak Beruang.
“Coba lihat, Anak Beruang, binatang-binatang ini kami tanam, bukan kami ternakkan.”

Sesaat kemudian, bapak bercelana pangsi memanggil Bang Anjing. Bang Anjing berlari-lari menghampirinya. Anak Beruang merapatkan diri pada Anak Manusia yang tampak mengamati Bang Anjing dan bapak bercelana pangsi penuh selidik. Tiba-tiba Anak Manusia mencengkram tangan Anak Beruang. Menariknya berlari keluar dari Taman Binatang. Bang Anjing mengejar-ngejar mereka. Bapak bercelana pangsi tampak membawa-bawa senapan angin. Hari libur anak-anak itu menjadi kacau dan menyeramkan.

Anak Beruang dan Anak Manusia berhasil mencapai sepeda mereka. Keduanya mengayuh sekuat mungkin tanpa berani menengok ke belakang lagi.

“Ada apa, Anak Manusia ?” tanya Anak Beruang sambil masih terus mengayuh.
Dengan satu tangan masih di stang, Anak Manusia memraktekkan gerakkan memotong kepala, menanam, lalu menunjuk dada Anak Beruang. Anak Beruang mengerti.

Hutan adalah tempat terbaik untuk pertumbuhan Anak Beruang. Dan Kebun Binatang yang seharusnya bernama Taman Binatang merupakan tempat wisata bagi Anak Manusia. Hari itu keduanya memutuskan untuk tidak akan pernah kembali ke Taman Binatang.

Anak Beruang bersepeda roda satu, Anak Manusia bersepeda roda dua. Hari itu ganjil seperti jumlah roda sepeda mereka.

gambarteks
Sundea

Komentar

Rie mengatakan…
Waduh! Pagi-pagi udah disodori cerita menegangkan!
salamatahari mengatakan…
Daripada malem-malem, entar ga bisa tidur. Kalo pagi nggak bisa tidur kan bagus ... heheeh ...