“Lihat, ada rajawali!” seru Lebah. Ia yang sedang terbang berputar-putar seketika berhenti. Anak Beruang yang sedang berlari-lari di sebelahnya juga berhenti. Keduanya tengadah menatap rajawali yang terbang gagah berani. Sayapnya terentang, arahnya pasti.
“Bagaimana rasanya terbang setinggi itu, ya?” tanya Lebah.
“Aku belum pernah terbang setinggi itu. Tapi aku pernah ada di ketinggian rajawali,” tanggap Anak Beruang.
“Pernah ? Kok bisa ?”
Anak Beruang lalu bercerita.
Duluuuu … sekali. Anak Beruang pernah tinggal bersama induk dan anak-anak rajawali. Ia disayang dan diperlakukan seperti anak-anak rajawali. Ia mendapat kehangatan dan sarang yang empuk seperti kasur serta lembut seperti kapas.
Meski begitu, Anak Beruang tetap berbeda. Ketika saudara-saudaranya menyerbu ayam, tikus, kelinci, dan katak yang dibawakan Induk Rajawali, Anak Beruang lebih suka makan awan-awan yang semanis gula kapas. Anak Beruang juga tak punya paruh. Moncongnya tak cukup kuat dan tajam untuk disebut paruh.
Induk Rajawali menyayangi anak-anaknya dengan caranya sendiri. Ia memperhatikan, tapi tak pernah memanjakan mereka. Ketika anak-anak rajawali sudah semakin besar, Induk Rajawali mengurangi kenyamanan sarangnya. Sedikit demi sedikit ia mencabut keempukan dan kelembutan yang melapisi sarang tersebut. “Ini bagus untuk pertumbuhan sayap kalian,” begitu katanya. Anak Beruang mengepak-ngepakkan kedua tangannya. “Mungkin ini bagus juga untuk perkembangan tanganku,” pikir Anak Beruang.
Semakin lama, sarang rajawali semakin tajam dan kering. Anak-anak rajawali sadar bahwa sudah saatnya mereka terbang meninggalkan sarang. Ketika itu, Induk Rajawali mendorong mereka keluar agar mereka menghadapi dunia yang sesungguhnya.
Sebagai bagian dari anak rajawali juga, Anak Beruang mendapat perlakuan yang sama. Tiba gilirannya untuk didorong keluar menghadapi dunia.
“Tapi, Bu, tapi tapi tapi …”
“Lihat, setelah didorong, semua saudaramu pasti bisa terbang. Itu sesuatu yang alami.”
“Tapi aku pasti tidak bisa terbang …”
“Kamu kan belum mencoba.”
Anak Beruang berdiri di tepi bukit. Meski tak dapat menjelaskan alasannya dengan lugas, di dalam hati ia tahu persis ia tak akan pernah bisa terbang. Ketika moment terjun menjemputnya, Anak Beruang tak tahu harus bagaimana. Ia jatuh ke tanah dan pingsan beberapa hari.
“Lalu apa yang terjadi ?” tanya Lebah.
“Ayah dan Ibu beruang menemukan aku. Mereka mengajariku menjadi beruang.”
“Hmmm … lalu kamu hidup seperti sekarang ini?”
“Iya. Aku tidak akan bisa terbang karena aku terlalu gendut dan tidak bersayap. Yang bisa kulakukan adalah berlari-lari-lari-lari-lari. Makan madu. Menggeram. Mencakar-cakar pohon … hehehe …”
“Kamu tidak bisa terbang karena kamu beruang.”
Beberapa saat kemudian, beberapa rajawali muda memintas angkasa, terbang ke arah matahari. Siluetnya gagah sekali.
“Itu saudara-saudaraku!” tunjuk Anak Beruang bangga. “Ibuku hebat. Mereka semua bisa begitu karena dididik ibuku!”
“Ibu Rajawali,” koreksi Lebah.
“Ibuku juga.”
Ada ikatan sentimentil yang cukup panjang merentang darat dan angkasa; tidak menjadi getas diterpa waktu dan peristiwa. Anak Beruang tidak pernah pulang ke sarang, tapi ada bagian dari sarang yang selalu ikut ke manapun ia pergi.
Sundea
*Seluruh foto diambil di toserba diskon “Sanya” di bilangan Kebun Kelapa
Untuk Induk Rajawali kalau kebetulan baca cerita ini =)
Komentar
Makasih udah mampir, yaaa ...